Selasa, 01 April 2014

Amitie' (on friendship)

Edit Posted by with No comments

Awan hitam menyelimuti sore itu. Angin berhembus cukup kencang mendinginkan tubuhku. Mengibarkan kerudung dan gaun hitamku, sekaligus seolah-olah menampar-nampar hatiku yang terkoyak. Aku berdiri terpaku menatap sekeliling. Tiada siapa pun, hanya aku sendiri ditemani bisikan rindu sang angin.
Aku berdiri terpaku menatap perih sebuah makam di sampingku. Mataku samar-samar menatap batu nisan yang berdiri tegak diatasnya. Kutemukan sebuah nama terpampang tegas dibatu nisan nya yang perlahan mengiris luka  yang selalu bersemayam dalam hatiku.
Seketika, air mataku pun merembes keluar dari sudut mataku ketika rintik-rintik hujan mulai mengguyur pemukaan bumi, membasahi kekosongan dan kesedihanku. Seolah-olah berusaha berkompromi dengan hati untuk  menghapus rindu  yang senantiasa menggelayut dalam kesibukan hari-hariku. Kutengadahkan kepalaku dan perlahan ku tutup mataku. Mencoba menikmati senandung lagu rindu yang didendangkan sang hujan. Lagu rindu yang memaksaku mengingat sebuah kenangan yang begitu pahit. Dan memory itupun senantiasa terputa kembali dalam ingatanku…………….
#        @        #

Gadis kecil itu berlari kencang sambil menggiring bola ditengah ditengah derasnya air hujan. Menikmati irama rintik hujan. Sementara ,seorangan anak laki-laki mengejarnya dari belakang berusaha merebut boala dari gadis kecil itu.namun,gadis kecil itu terus berlari dan menggiring bola dengan lincah.
Gadis kecil itu adalah aku, Casey. gadis kecil berrumur 10 tahun. dan anak laki-laki itu adalah sahabatku, Riko, yang berumur 12 tahun.
Ricko adalah sahabatku yang paling aku sayang. Dia adalah seorang pianis. Disekolah, kami sering dipasangkan untuk acara hiburan dalam berbagai acara disekolah karena aku adalah seorang penyanyi. Dia adalah kakak kelasku di sebuah sekolah dasar terkenal di sebuah kota keci di Prancis, dan kami sangat dekat. Dan kedekatanitulah yang membuat kami selalu berusaha saling menjaga. Dia selalu menjagaku dari anak-anaknakal yang suka menggangguku, dari gangguan kakak kelas yang mencoba memeras uang sakuku, dan dari kekerasan saudara tiriku. Bahkan dia hampir terjatuh ke jurang saat membantuku menaiki tebing saat Camping tahunan. Itulah yang membuatku sangat menyayanginya. Meskipun dia seorang Nasrani, namun itu tak pernah menjadi penghalang bagi kami untuk menjalin sebuah persahabatan. Dia tetap amitie’ sekaligus guardian angel bagiku.
“Ayo, Ricko…kejar aku!Kau sangat payah. Kejar bolanya kalau kau bisa!”Ejekku
“Baiklah. Kau fikir aku tak bisa merebut bola darimu?” Teriaknya dan terus mengejarku.   
Begitulah gambar keceriaan hari itu. Diatas rumput hijau lapangan bola dibelakang rumah kami, kami terus cekikikan dan bermain dalam derasnya air hujan tanpa beban. Seolah tak akan pernah ada takdir duka yang menanti. Berjingkrak-jingkrak diatas rerumputan lapangan nan hijau. Mengikuti irama nyanyian hujan. Hingga kamipun memutuskan untuk beristirahat. Kami berbaring-baring diatas rerumputan sambil memejamkan mata. Membiarkan rintik-rintik hujan mengaliri tubuh kami.
“Casey….” Panggil Ricko perlahan.
“Mmm…”Sahutku tenang.
“Aku ingin berterimakasih padamu. Dan juga...... minta maaf.”Ujarnya. kukernyitkan dahiku tak mengerti.
“Untuk apa?”Tanyaku tak mengerti  sambil tetap menutup mata. Tak ada jawaban darinya. Kubuka mataku perlahan kemudian bangkit dan duduk disampingnya seraya menatapnya penuh rasa heran.
“Untuk semuanya.”Ujarnya tertahan membutku semakin bingung.”kamu mau kan memaafkanku?”
“Aku….Aku sungguh tak menerti maksudmu.”Gelengku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
Dia bangun dan duduk disampingku. Dia mengusap pelan rambutku. Kemudian dia tersenyum lembut. Entah apa arti senyumannya itu kali ini. Aku sungguh tak mengerti. Digenggamnya erat tanganku dan mulai berkata lagi.”Casey…..sebenarnya ……”
“Ricko…”Panggil sebuah suara jauh dibelakang kami memotong kalimat Ricko. Kami menoleh kearah sumber suara. Nampak seorang wanita berpayung tengah berdiri disamping mobilnya yang sedang diparkir di pinggir jalan didekat lapangan tempat kami bermain. Wanita itu adalah madame Mollie, ibu Ricko. Ricko tersenyum senang.
“Tunggu sebentar. Aku akan segera kembali.”Ucapnya seraya berlari kearah ibunya. Dari kejauhan, mereka terlihat bercakap-cakap sebentar. Dan beberapa menit kemudia, Ricko berlari kearahku.
“Casey…aku harus pergi sekarang."
"Tapi kau belum selesai cerita padaku." Sungutku.
"Aku janji akan menceritakan semuanya padamu, OK?” Aku mengangguk mengalah. Dia kemudian mencium keningku dan segera berlari kearah ibunya. Mereka segera masuk kedalam mobil. Ricko membuka kaca jendela mobil dan melambaikan tangan padaku.”Au revoir, Casey!” Kulambaikan tanganku sambil terus menatap mobil itu yang terus menjauh dan akhirnya menghilang dibalik hujan.
#$@$#
Malam merangkak. Sang dewi senja telah kembali ke peraduan. Aku duduk termenung diatas atap kamarku. Menatap sendu aliran sungai dibelakang halaman rumahku. Gemericiknya bagaikan irama musik bagi para jangkrik yang bersembunyi dibalik bebatuan.
Kutatap angkasa. Tak ada bulan maupun bintang yang menghiasi. Hanya desau angin yang senantiasa mengibar-ngibarkan rambut ikal sepunggungku. Ku alihkan pandanganku kearah jembatan tali penghubung kamarku dan kamar Ricko. Nampak Ricko sedang berjalan di atasnya. Dia tersenyum dan melambai kearahku. Setelah sampai di kamarku, dia memanjat tembok disamping kamarku dan berjalan perlahan kemudian duduk disampingku. Kami terdiam beberapa saat. Sampai akhirnya kuputuskan untuk memulai pembicaraa.
“Kau ingin mengatakan sesuatu?”Tawarku. Ricko hanya tersenyum dan mendesah pelan. Dia memandang lurus kedepan menerawag jauh.Entah kemana. Aku tak tahu.
“Mengapa kau diam saja?Apa ada yang kau sembunyikan?”Dia tetap diam.”atau ada yang salah denganku?”
“Tidak!”Jawabnya tegas.
“Lalu?”
“Apa kau yakin ingin mendengarnya?”Tanyanya memandangku seolah-olah ingin memastikn keyakinanku. Kupandangi ia dan mengernyitkan kening tanda tak mengerti. Dia tertunduk beberapa saat kemudian mengangkat wajahnya kembali. Dia mendesah panjang seolah-olah ingin melepaskan beban yang beratnya berton-ton yang mengunci mulutnya. Namun kemudian dia mulai berkata.”Tadi sore, aku pergi kerumah sakit untuk mengambil hasil sample darahku. Dan hasilnya….aku dinyatakan leukemia stadium empat.”Ucapnya lirih. 
"Leukemia?" Tanyaku seolah-olah berbicara kepada diriku sendiri. Aku seperti pernah mendengar kosa kata itu. Kemudian aku teringat sesuatu yang pernah diceritakan oleh ayahku beberapa tahun yang lalu. Leukemia adalah penyakit yang pernah diderita oleh ibuku yang kemudian membuatnya meninggal. Aku tertegun beberapa saat. "Maksudmu....Kangker????" Tanyaku tak yakin. Dia hanya mengangguk pelan.
“Kau bercanda? Kau pasti ingin menipuku. tapi…..sekarang kan bukan waktunya april mop?” Ujarku sambil tersenyum terkekeh dan tak lepas dari wajahnya. Berharap wajahnya akan menunjukkan garis canda. Namun wajahnya menunjukkan keseriusan dan sebuah kesedihan.
“Umurku tak akan lama lagi”Desahnya seolah berbisik pada dirinya sendiri.
“Cukup, Ricko!”Bentakku.”Hentikan candaan ini. Kau tak akan kemana-mana.Dan kau bukan Tuhan. Dokte juga bukan Tuhan.Siapapun tak berhak memvonismu sekejam itu.”Teriakku  penuh amarah. Ricko hanya diam.
“Tapi itu kenyataannya”"desahnya pelan
“Tidak…..!”Kututup mulutku dan menggeleng kuat.Hanya itu yang mampu ku katakan.Aku tak sanggup untuk berkata-kata lagi.Bibirku terlalu kelu untuk berkata-kata. Aku mulai merasakan sebuah air hangat mengalir lembut . Butiran-butiran bening itupun akhirnya jatuh dipipiku. Mengairi jiwaku yang pilu. Aku menangis.
Ku telungkupkan wajahku dengan kedua tanganku. Menghayati setiap bening yang jatuh dipipiku. Hatiku sakit, perih, dan hancur. Kecewa dengan apa yang terjadi. Sahabat yag selama ini selalu mencoba menjadi pelindungku akan segera pergi untuk selamanya. Aku tak sanggup!Aku belum siap kehilangannya!
Tetes air hujan mulai membasahi tubuh kami. Membasahi kesedihanku. Meremukkan dinding harapanku. Ricko tetap terdiam mendongak keatas langit seraya memejamkan mata. Mencoba menikmati setiap tetes butiran bening yang terjatuh.
“Kau pernah berkata, jika kita berdo’a saat hujan turun, makaTuhan akan segera mengabulkannya. Lalu mengapa kau tak melakukannya kali ini? Kau tak ingin berdo'a untukku? ”Ujarnya. Ku tatap ia dengan tatapan nanar.
“Apakah Tuhan tak akan mengambilmu dariku jika aku berdo’a kali ini?” tanyaku perih. Kutatap ia semakin dalam. Dia mencoba tersenyum meski kini air matanya mulai mengalir. Disekanya airmatanya meski air matanya terus mengalir. Dipalingkannya wajahnya mencoba menyembunyikan kesedihanya dariku.
“Jangan pernah kau coba unuk menyembunyikan kesedihanmu, Ricko. Karena aku bisa melihat lebih dari sekedar air mata.”Ucapku lirih. Dipeluknya aku dengan erat dan menangis sesenggukan.
“Jangan menangis lagi, Casey. Karena aku tidak akan sanggup melihat air matamu.”Desahnya. Dipeluknya aku semakin erat.Aku menagis tersedu-sedu. "Kau harus tahu satu hal,Casey.” kemudian melepaskan pelukannya. "Kematian bukanlah akhir dari segalanya. tapi itulah awal dari kehidupan kita yang baru.”Sambungnya dan menghapus air mataku.Kemudian dirogohnya kantongnya dan mengeluarkan sebuah kalung berliontinkan bintang dan memakaikannya dileherku.
“Jagalah kalung ini danbukalah liontinnya jika kamu merindukanku.Dan ingatlah satu hal lagi, Casey.Aku akan selalu dihatimu jika kau tak melupakanku.”Diciumnya keningku dan memelukku lagi.Entah berapa lama dan itu adalah pelukan terakhirnya.
Satu minggu setelah malam itu, Rickopun meninggal setelah sebelumnya dilarikan kerumah sakit dan dirawat selama dua hari karna kondisinya semakin kritis.Akhirnya diapun meninggal tepat dihari ulang tahunku yang ke-11.
Aku menangis tak henti-hentinya saat itu.Akusungguh tak siap harus kehilangannya.Semuanya terasa gelapdan menyakitkan.Beberapa kali aku tak sadarkan diri. Tapi aku tetap dapat mengikuti upacara pemakamannya meski dengan tangis histerisku.
“Rickooo…!Jangan pergi….!Jangan tinggalkan aku!”Ratapku. Daddy memelukku dengan erat.Sementara aku meronta-ronta agar lepas dari pelukan Daddy. Tapi tubuh kecilku tak mampu tak mampu melawan pelukan Daddy.Aku terus meratap.Orang tua Ricko,orang tuaku, bahkan orang-orang yang mengikuti upacara pemakaman itu ikut menangis. Mereka menatap sedih kepadaku. Hingga upacarapun selesai dan orang-orang mulai beranjak pergi meninggalkan pemakaman. Daddy melepaskan pelukannya. Aku berlari kearah makam Ricko dan kakiku terasa lemas saatku berada disamping makam Ricko. Aku terduduk lemas. Hanya menangis yang bisa kulakukan untuk mengiringi kepergian Ricko.
“Sudahlah,Casey.Jangan menangis lagi.Aku yakin Ricko akan sedih melihatmu seperti ini.”Ucap madame Mollie mengusap-usap punggungku. Aku masih menangis menelungkupkan wajahku. Namun setelah beberapa saat, Daddy mengajakku pulang. Kuletakkan mawar kuning diatas makam Ricko dan segera beranjak meninggalkan pemakaman.
“Au revoir,Ricko.Au revoir…!”Desahku dalam hati.
#               @                 #
Kubuka mataku perlahan.Hujan masih belum reda.Kutatap makam Ricko dankuhapus air mataku.Kutatap foto dalam liontin pemberian Ricko.Foto saat kami bermain lumpur dihalaman belakang rumah Ricko.Aku tersenyum meski air mataku terus mengalir dipipiku.Kuletakkan mawar kuning diatas makamnya dan kucium batu nisannya.
“Mercy,Ricko.Kau telah menjadi guardian angel-ku.Walaupun sudah 7 tahun au pergi meninggalkanku.Namun aku tak akan pernah melupakanmu.Kau akan tetap menjadi amitie’ sekaligusguardian angel bagiku.”Desahku
Kulangkahkan kakiku meninggalkan pemakaman yang semakin sunyi.Hembusan angin bagakan nyanyian sendu sang malaikat. Mengiringi langkahku meninggalkan pemakaman yang semakin terasa sunyi.

0 komentar:

Posting Komentar