Jam
dinding di ruang tamu sudah berdenting, tanda jam sudah menunjukkan pukul 12.00
malam. Aku masih duduk santai di ruang tamu sambil meminum coklat panas dan
menonton TV, menunggu suamiku yang belum juga pulang kantor. Aku tak gelisah,
karena suamiku sudah mengirim sms bahwa dia akan pulang telat malam ini. “Ada
meeting” katanya. Aku memang sengaja menunggunya karena aku memang tidak bisa
tidur malam ini. Entahlah…!!!
Tiba-tiba
pandanganku teralih saat kulihat bayangan gadis kecil dengan baju tidur dan
masih memeluk boneka beruang putih berjalan dari arah pintu ruang keluarga,
menghampiriku. Salsha, namanya. Putri tunggalku yang baru menginjakkan bangku
kelas 3 SD.
“Kok belum tidur,sayang?” tanyaku sambil membelai rambut
sepunggungnya setelah duduk didekatku.
“nggak bisa tidur, Bunda…!!!” ujarnya sambil mengucek
matanya.
“hmmm…besok kan salsha pergi sekolah…!!! Gimana kalo Bunda
dongengin?” Tawarku. Tapi dia justru menggeleng.
“Salsha mau minum susu, Bunda…!!” Ujarnya manja.
“Ya udah…Bunda buatin susu. Tapi
salsha harus tidur ya setelah itu…?” ujarku sambil mencolek hidungnya dan
berlalu meninggalkannya ke dapur dan membuatkannya susu coklat kesukaannya.
Setelah membuat susu coklat, aku langsung menuju ke ruang keluarga. Namun tak
ku temukan dia disana. Aku langsung pergi ke kamarnya. Pintu kamarnya sedikit
terbuka. Kulihat disela-sela pintu, salsha sedang membaca buku dongeng yang di
belikan oleh Rina, adik tiriku, tadi siang saat berkunjung.
Kumasuk
kedalam kamarnya dan meletakkan susu coklat itu diatas meja belajar salsha.
Kubelai rambutnya perlahan sambil menatapnya penuh bangga.
“Bunda….!!” Panggilnya tiba-tiba.
“Ya, sayang..??” Tanyaku heran.
“Apakah ibu tiri itu jahat??”
tanyanya menatapku.
“Mengapa salsha tiba-tiba Tanya
begitu??” Tanyaku heran karena salsha tidak pernah bertanya tentang hal-hal
seperti itu sebelumnya.
“Temen-temen salsha di sekolah
bilang begitu. Di buku dongeng yang di beliinsama tante Rina juga bilang
begitu..!!” Ucapnya polos. AAku tersenyum mendengar penuturannya. Kubelai
sekali lagi rambutnya dan mulai berkata-kta lagi.
“Di dunia ini, tidak ada ibu yang
jahat, sayang. Semua ibu pasti sangat sayang terhadap anak-anaknya. Termasuk
ibu tiri.” Ku hela nafas panjang dan mulai melanjutkan penjelasanku. “ Tidak
ada ibu tiri di dunia ini. Semuanya sama. Kalo ada ibu yang memukul anaknya,
itu pasti karena anak-anaknya nakal. Kalo gak nakal pasti tidak akan di pukul.
Hmm…!!!” Ujarku kemudian mencolek hidungnya “ Sekarang, salsha minum susu,
terus bobo ya sayang?” Lanjutku dan menyodorkan susu coklat kesukaannya. Salsha
pun meminumnya dan kuletakkan gelas itu kembali setelah dia selsai. Dia
kemudian berbaring dan mulai memejamkan mata. Kubelai rambutnya dengan tulus.
Tiba-tiba sekelebat bayangan kembali muncul di ingatanku. Ada segores luka yang
sangat mendalam membekas di hatiku. Kurasakan begitu sakit hingga sekarang.
Dadaku mulai terasa sesak. Sangat sesak hingga tak kurasakan air mata mengalis
dipipiku. Fikiranku melayang. Kembali pada kenangan 20 tahun yang lalu. Dimana
aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA.
Malam
itu hujan turun deras. Sangat deras hingga ku rasakan dingin menusuk di setiap
persendian tubuhku. Angin juga berhembus cukup kencang menimbulkan suara
decitan pada jendela reot kamarku. Suara tetesan air hujan pada lantai akibat
atap kamar yang bocor benar-benar mengganggu konsentrasi belajarku. Semakin
lama semakin berisik kurasakan. “Menyebalkan…!!!” Rutukku menghantam meja
belajarku.
Ku
langkahkan kakiku menuju ruang makan yang terdapat di dalam dapur. Ku lihat
adik tiriku sedang menikmati makan malam sambil sesekali memainkan sendoknya
memukul piring. Sementara ibu tiriku terlihat sedang membuat teh hangat
untukku. Dia memang tau kebiasaanku sebelum makan malam yaitu minum teh hangat.
Aku duduk disalah satu bangku di meja makan. Kuperhatikan lauk makan malam itu
yang sudah tersedia diatas meja makan. Hanya tahu, tempe dan telur dadar serta
sambal tomat. Seperti malam-malam yang kemarin. Sudah 4 hari ini menu makan ini
selalu di ulang-ulang dari pagi sampai makan malam. Tak ada yang lain. Aku agak
kesal.
Rina,
adik tiriku yang sejak tadi memainkan sendok makannya terdengar semakin
berisik. Ku tahan emosiku dan menegurnya dengan suara terpaksa dilembutkan.
“ Adikku sayang, bisakah kau
makan lebih tenang??Agar aku bisa mendapatkan inspirasi???” Rina yang waktu itu
baru duduk di bangku SD kelas 1 tidak peduli mendengarku. Aku semakin jengkel
dan lepas kontrol. “ RINA, DIAAAMMMM….!!!” Bentakku dengan keras sambil
memeukul meja. Rina terkejut dan menangis.
“ Ibu……ibu….!!!” Raungnya
kemudian berlari kearah ibu tiriku. Iu tiriku mencoba untuk menenangkannya.
Digendongmya Rina agar bisa lebih tenang.
“ Jangan terlalu kasar pada
adikmu…!” Tegurnya padaku dengan nada
lembut. Namun bagiku itu hanya sebatas kepura-puraan. Kuputar bola mataku yang
menandakan aku bosan mendengar ucapannya. Dia kemudian duduk disalah satu
bangku di meja makan tepat didepanku. Didudukkannya pun Rina didekatnya.
Kami
mulai makan malam itu. Diam. Begitulah suasana makan malam itu. Yang terdengar
hanya suara rintik hujan yang sangat berisik jatuh diatas atap seng rumahku.
Sesekali terdengar decitan dari jendela kamarku yang tertiup angin. Namun
suasana di meja makan sangat hening malam itu. Akupun mulai pembicaraan.
“ seminggu lagi aku ada
pertandingan basket terakhir antar sekolah. Sepatuku sudah rusak. Aku ingin
sepatu basket.” Ucapku ketus sambil menyendok nasiku.
“ Tiara….Ibu belum ada uang.
Hasil jualan kue ibu sangat sedikit. Pelanggan ibu sekarang semakin sedikit.
Untuk makan pun kamu liat sendiri keadaannya.”
“Alaaaahhhh……bilang saja kalau
Kamu emang gak niat mau beliin aku. Selama ini kan aku gak pernah minta apa-apa
sama kamu. Uang jajanpun aku gak pernah minta. Masa’ baru minta sekali aja kamu
gak mau ngasih!!!” Ucapku lantang.
“ Ibu benar-benar tidak punya
uang, Tiara..” Ucapnya masih lembut.
“ Gak usah pura-pura deh….Kamu
itu emang gak pernah peduli sama aku. Aku tau, aku hanya anak tiri kamu. “
“Tiara….!!!”
“ Sejak papa meninggal, aku jadi
melarat. Dan itu gara-gara kamu. Kalau saja kamu hati-hati saat masak, pasti
rumah Ku gak bakalan kebakaran, dan papa gak akan meninggal gara-gara nolong
Rina dikamar. Aku benci kamu…!!!” Bentakku memelototinya. Ibu tiriku hanya
diam. “ Dan yang paling aku benci adalah kamu merebut papa dari mamaku….dan
akhirnya mama meninggal gara-gara stress ditinggal papa. Semua itu gara-gara
kamu…!!!” teriakku.
Plaaaakkk….!!!
Satu tamparan keras mendarat dipipiku. Aku terdiam. Kupelototi ibu tiriku. Ini
pertama kalinya dia menamparku.
“ KAUUUUUUUU….!!!!” Teriakku
setengah tidak percaya.
“Tiara….maafin ibu, nak…ibu tidak
sengaja…!!” Dia memelas.
“ AKU BENCI KAMU. ….!!! Kamu
emang gak pernah sayang sama aku!! Dan kamu gak akan pernah bisa gantiin posisi
mama …!!!” Pekikku dan berlari keluar.
Hujan
masih sangat deras. Namun aku tetap berlari. Ibu tiriku ikut berlari berusaha
mengejarku. Kudengar raungannya memanggilku dan meminta maaf. Namun aku tetap
peduli. Aku berlari kearah Sebuah lapangan basket tempat aku biasa latihan
basket bersama Ray, pacarku. Kulihat bola basket yang tergeletak di
tengah-tengah lapangan. Kuambil dan kulempar kearah ring. Kumainkan bola itu
dengan cepat. Terus bermain mencoba menghilangkan rasa amarahku hingga
kurasakan capek yang membuatku terjatuh ditengah-tengah lapangan. Aku menunduk.
Kubiarkan air hujan mengaliri tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingin
berteriak. Namun Kurasakan suaraku tak dapat keluar.
Tiba-tiba,
kulihat sepasang kaki dihadapanku. Ku dongakkan kepalaku. Kutemukan Rey berdiri
tersenyum dengan membawa paying ditangannya. Dia kemudian duduk dihadapanku.
“ Mengapa hujan-hujan begini kamu
masih main basket?” Tanyanya kepadaku sambiltersenyum. Dihapusnya air mataku “
Nanti sakit. Ayo pulang..!!” Ajaknya menggenggam tanganku Kupalingkan wajahku
dan menggeleng pelan. “ Ada masalah dengan ibumu lagi?”
“ Dia bukan ibuku, Rey. Dia
pembawa sial. Dia gak akan pernah jadi ibuku. Dia merenggut semua orang yang
aku sayang. Dia membunuh mama dan papa. Dan sekarang dia merebut kebahagiaanku.
Aku gak akan bisa ikut tanding basket…” Aku menunduk sekali lagi.
Kutelungkupkan wajahku dengan kedua tanganku.
Aku menangis sesenggukan. Dipeluknya aku perlahan. Entah berapa lama
sampai akhirnya diajaknya aku pulang kerumahnya karena aku tetap tidak ingin
pulang kerumah.
@<0--------- %
----------0>@
Sejak
kejadian malam itu, aku tidak pernah pulang kerumah. Aku tidak pernah berusaha
menemuinya. Dia juga tidak pernah berusaha menemuiku. Sampai pada suatu malam
sepulang latihan basket, aku dan Rey pergi ke sebuah warung makan yang terletak
di pinggir jalan. Tiba-tiba kulihat Ibu tiriku baru keluar dari sebuah toko
sepatu bersama Rina sambil menenteng sebuah plastic hitam dari toko tersebut.
Mereka terlihat sangat gembira. Aku sangat yakin bahwa mereka baru membeli
sebuah sepatu. Aku rasa itu untuk Rina. Kurasakan marah yang teramat sangat
menguasai fikiranku saat itu. Aku tetap memandang mereka sampai di pinggir toko
mengambil sebuah nampan kosong yang biasa digunakan untuk menjual kue.
“ Itu Rina dan ibu kan, Ra??”
Suara Rey mengejutkanku disamping. “Samperin dulu yuk…keliatannya capek baru
selsai jualan.”
“ Ngapain?? Mereka baru selsai
beli sepatu ko buat Rina.” Ucapku ketus.
“Jangan su’uzzon dulu….siapa tau
ibumu baru selsai beli sepatu buat kamu.”
“Mana mungkin? Dia itu gak sayang
sama sekali sama aku. Aku kan Cuma anak
tirinya.” Rey hanya menggeleng-geleng kepala mendengar ucapanku. Kami tetap
melanjutkan makan tanpa ku fikirkan lagi ibu dan adik tiriku.
@<0---------- %
----------0>@
Aku
duduk didepan kelas, menunggu Rey yang belum juga keluar dari kelas. Padahal
bel istirahat sudah bordering sejak tadi. Namun aku tetap menunggunya. Hari ini
adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Yaitu pertandingan basket putri antar
sekolah dan merupakan pertandingan basket terakhir bagi anak-anak kelas tiga
karena sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional. Pertandingannya akan di
mulai jam 3. Jadi, setelah pulang sekolah nanti, aku harus siap-siap. Rey akan
mengantarku ke sekolah karena aku harus berangkat bersamaan dengan teman satu
tim ku. Tapi Rey tetap akan menonton pertandingan.
“ Lama ya?” Tanya sebuah suara
membuyarkan lamunanku.
“ Rey…kamu udah disini. Ya
lumayan sich.Emang kamu tadi kemana? Kok lama banget?”
“ Ya nih. Tadi aku ada urusan
sama Deni.”
“ooohhh…..”
“Yuk pergi…!!” Ajak Rey.
“Kemana?”
“Pulang lah….emang kita mau
ngapain disini?”
“Lho….sekarang kan masih ada
kelas!”
“Hari ini ada rapat guru. Jadi
semua kelas di bubarkan!”
“ooo…ok…yuk..!” Ajakku sambil
merangkul tangan Rey.
Sepanjang
perjalanan menuju parkiran, kami terus mengobrol. Lokasi parkiran berada
didekat gerbang masuk sekolah. Saat kami berjalan menuju parkiran, tiba-tiba
mataku tertuju pada sebuah sepasang sosok yang sangat aku kenal. Tidak lain
adalah ibu dan adik tiriku. Mereka berdiri didepan gerbang masuk sekolah.
Sesekali ibu tiriku terlihat pembicaraan dengan satpam sekolah. Seperti ada
perdebatan kecil. Namun sekali lagi aku cuek. Tak peduli.
“Tiara…ayo naik….ngapain bengong
disana?” Panggil Rey.
Aku
berjalan dan menaiki motor Rey. Kututup wajahku dengan tasku saat lewat didepan
gerbang masuk agar ibu tiriku tidak mengenaliku. Aku gak ingin ketemu
dengannya.
“Sepertinya aku liat ibumu deh di
depan gerbang masuk tadi?” Ujar Rey.
“Kamu salah liat kali. Aku gak
liat kok.” Tampikku.
“Hmm…mungkin.”
@<0---------- %
----------0>@
Priiiitttt….!!!!
Suara
peluit berbunyi menandakan timeout. Babak pertama sudah selsai. Aku mendengus
kelelahan. Skor sudah 20-23 untuk sekolahku. Pertahanan lawan benar-benar
kuat. Tiba-tiba, Rara, teman satu tim
yang berada di bangku cadangan memanggilku. Dia berbisik bahwa ibu tiriku
berada diluar GOR. Dan dia memaksa agar masuk kedalam gedung. Namun satpam
melarangnya masuk. Dia dianggap pengemis oleh satpam. Aku heran mengapa ibu
tiriku sampai nekat datang kesini. Aku langsung berlari keluar gedung. Karena
sebentar lagi pertandingan babak kedua akan segera dimulai.
“Kamu ngapain sih kesini?”
Bentakku saat berada didepannya.
“Ibu hanya ingin….”
“Udah deh..aku mau tanding. Kamu
pulang dulu deh. Ganggu aja.” Potongku.
“Tapi…”
“Pergi…!!!” Pekikku tidak member
kesempatan pada ibuku.
Ibuku
langsung pergi. Digandengnya Rina yang Nampak kelelahan dan menggenggam sebuah
plastic hitam. Aku berjalan masuk kembali kedalam gedung. Namun.
Braaaaakkkkkk….!!! Suara dentuman keras mengalihkan perhatianku. Sangat keras. Terdengar
dari arah belakangku, tepat ditengah jalan, kulihat orang-orang berkerumun.
Kurasakan jantungku berdegup sangat kencang. Ntah mengapa, kurasakan gelisah
yang teramat dalam dan suli ku jelaskan mengapa. Aku terdiam sejenak. Sampai
kurasakan dorongan yang begitu kuat dari dalam diriku. Seolah kesedihan telah
menyeruak di dalam hatiku. Entah mengapa. Dan perlahan kuputuskan untuk
mendekati kerumunan itu. Kuterobos kerumunan itu, dan kulihat seseorang yang
sangat aku kenal tergeletak tak berdaya berlumuran darah di aspal. Gadis kecil
disampingnya menangis tersedu-sedu memanggil ‘ibu’.
Dadaku
semakin sesak. Pelan tapi pasti, aku menangis. Ku pangku kepala ibu tiriku. Ku
rangkul dan ku ciumi Ia. Hal yang tak pernah kulakukan. Kurasakan kehilangan
yang teramat sangat. Entah mengapa, inginku putar waktu kembali. Aku ingin
kembali pada memori beberapa minggu yang lalu. Aku tiba-tiba sangat merindukan
suaranya. Ingin merangkulnya. Dan ku katakana maaf yang sedalam-dalamnya.
@<0---------- %
----------0>@
Awan
hitam menyelimuti. Angin berhembus sayup, seolah mengerti suara hati. Ku lihat
tak ada siapa-siapa lagi di sekeliling. Hanya aku, Rina dan Rey dan kedua orang
tua Rey. Ku tatap sedih sebuah makam yang ada didepanku. Masih sangat basah.
“Kakak,….!!” Panggil Rina
mendongakku dan menggenggam tanganku. Ku tatap Rina. “ Mengapa Ibu tidur
disana? Ibu kesepian? Huuuuu…..” Tangis Rina. Aku terduduk mendengar ucapannya.
Tak bisa ku bending lagi air mataku. Aku sangat merindukannya terlebih Ibu
tiriku. Kuhapus air matanya dan ku elus pipinya.
“ Ibu tidak akan kesepian,
sayang. Ada malaikat. “ Ku kecup keningnya. “Mulai sekarang, Rina tinggal sama
kak Rey ya? Tapi jangan nakal. Kakak mau pergi. Kakak pasti kembali jenguk
Rina.” Ucapku pada Rina. Rina mengangguk. Aku berdiri dan menatap sendu pada
Rey dan keluarganya. Mereka sudah tau bahwa aku ingin menyerahkan Rina kepada
keluarga Rey seperti yang pernah kami bicarakan semalam. Karena aku harus cari
pekerjaan untuk biaya sekolahku.
“ Titip Rina,…Jaga dia
baik-baik.” Ucapku berlinang air mata. Mereka mengangguk. Ku peluk Rina sebelum
aku pergi. Ku tumpahkan air mataku. Kemudian aku beranjak.
“ Kakak….!!” Panggil Rina. Ku
tengok kebelakang. Rina berlari kearahku kemudian menyerahkan kantong plastic
hitam yang tidak pernah dia lepas sejak kemarin. “Ini untuk kakak, dari ibu “
Ujarnya. Ku buka kantong plastic tersebut. Dan ku temukan sebuah sepatu basket
berwarna putih.
“ Sebelum wafat, ibumu menjual
kalung emas nya kepada ibu.” Ucap ibu Rey dan menunjukkan kalung yang
dibelinya. Aku sangat mengenali kalung itu. Kalung pemberian papa kepada ibu
sebagai maskawin Air mataku mengalir. Kurasakan sesal yang sangat mendalam
karena telah berkata kasar pada Ibu. Ternyata, ibu sangat peduli dan menyayangiku
selama ini. Aku salah persepsi bahwa ibu tiri itu selalu jahat. Aku menangis
semakin tersedu-sedu. Ku dekap RIna sekali lagi. Entah berapa lama.
@<0---------- %
----------0>@
“ Kau masih belum tidur, sayang?”
Tanya Rey, suamiku, yang membuyarkan lamunanku. Ku hapus air mataku perlahan. “
Mengapa nangis?” Tanyanya lagi. Duduk disampingku.
“ Aku ingat ibu. Aku kangen
banget sama ibu.” Aku menarik nafas berat. “ Aku belum sempat minta maaf sama
ibu. Aku sangat menyesal “
“Sudahlah, sayang. Kita berdo’a saja.
Semoga beliau diterima di sisi Allah.”
Aku mengangguk pelan. Sementara
Hujan masih belum reda. Menyanyikan lagu rinduku pada ibuku tersayang.