“KAK MIA!!!!”
Jerit Nia sekuat hati. Mia langsung saja menutup telinganya. Suara Nia
benar-benar memekakkan telinganya.
“Ada apa sih?
Kan bisa manggil baik-baik?” Marah Mia kepada adik perempuannya itu sambil
mulai mengemas sisa bahan-bahan kue yang sudah tidak terpakai lagi.
“Malah marahin
Nia. Dari tadi tuh, aku juga udah manggil Kakak. Kakak aja tuh yang budek.
Kebanyakan ngayal sih jadi rada-rada budek.” Marah Nia balik sambil mengambil
buah apel hijau dari kulkas.
“Iya deh Kakak
yang salah. Jadi ngapain kamu manggil Kakak sampai terpaksa teriak-teriak
gitu?” Tanya Mia kembali sambil memasukkan kue Tiramizzu kedalam kulkas.
“Mama udah
manggil buat sarapan tuh. Bentar lagi kan masuk sekolah. Entar sakit. Semalem
kan Kakak bela-belain begadang cuma buat kue itu doank.” Mia mulai melirik jam
tangan putihnya. Sudah pukul 5:43.
Gumam Mia kemudian mengangguk pada Nia tanda dia akan segera ke meja makan. Nia
segera beranjak dari dapur ke meja makan. Mia naik ke kamarnya dan mengambil
tasnya kemudian turun lagi menuju meja makan. Papa, Mama, dan Nia sudah berada
di meja makan menikmati sarapan pagi itu.
“Pagi, Pa, Ma.”
Mia mengecup kedua belah pipi kedua orang tuanya bergantian kemudian duduk disalah
kursi di samping Nia.
“Pagi saying.
Kamu mau makan yang mana?” Tanya Ibu Shofie, Mama Mia, sudah mengambilkan
piring untuk anaknya itu.
“Mia mau makan
roti aja, Ma.” Mia memberikan senyuman lembut menyambut piring dari tangan
Mamanya. Mia mengambil roti dan mulai meratakannya dengan selai coklat kacang.
“Loh kok Cuma
makan roti, sayang? Kan semalam kamu begadang? Entar sakit loh.” Ucap Mamanya
prihatin.
“Nggak kok, Ma.
Kan hari ini Mia bawa bekal. Ntar makan di sekolah aja. Lagian Mia mau
cepat-cepat berangkat. Mau ngasih kuenya.” Papanya hanya menggeleng-geleng
kepala mendengar penjelasan anaknya itu.
“Kamu masih aja
ya suka sama anak laki-laki itu?” Tanya Papanya mulai angkat bicara. Mia hanya
menunduk. Sudah siap mendengar ceramah Papanya. “Bukannya Papa nggak bolehin
kamu pacaran. Anak Papa udah gede kok. Tapi, carilah yang tepat, yang
benar-benar saying dengan Mia. Papa perhatikan, dia tidak suka dengan Mia. Mia
juga sering menangis karena dia, kan?” Mia diam dan mulai meletakkan roti yang
dikunyahnya sebentar tadi. Diambilnya gelas susu yang terletak disamping kanan
tangannya dan mulai meneguknya hingga habis.
“Mia berangkat,
Ma, Pa.” Ucapnya mengambil ranselnya dan pergi tanpa mendengarkan kata-kata
apa-apa lagi dari orang tuanya. Papanya hanya menggeleng kepala melihat Mia
yang masih tetap keras kepala.
@------------------#-----------------@
Pagi-pagi
sekali, Mia sudah tercapak di depan kelas 2A IPA. Bingkisan kue Tiramissu
dipangku dengan baik agar tidak terjatuh dan merusak hiasan kue itu. Mia
memandang kue itu sekali lagi. Kue Tiramisu berbentuk hati yang di hiasi krim
coklat berbentuk bunga mawar di sekeliling kue sedangkan buah strawberry
senantiasa tertancap disela-sela krim berbentuk bunga mawar itu kemudian
ditaburi dengan taburan coklat bubuk. Setiap sisi kue di tempeli dengan coklat
batang yang telah di iris tipis. Benar-benar menggugah selera. 2 buah lilin
dengan angka 1 dan 6 melambangkan usia si penerima kue itu sudah mencecah
keangka 16 tahun. Mia tersenyum tipis. Tidak sia-sia dia bangun tengah malam
hanya untuk membuat kue kesukaan cowok idamannya. Karena hasilnya memang sangat
indah. ‘Tiramisu dan Arya. Memang sangat cocok. Sama-sama manis’. Getus
hatinya.
Suara cekikikan itu menyadarkan Mia.
Mia langsung mendongakkan kepala mencari-cari sumber suara cekikikan itu.
Matanya kemudian terpaut pada segerombolan siswa laki-laki dan seorang
perempuan yang asyik memeluk lengan seorang siswa laki-laki bertubuh jangkung
tegap yang sangat dikenalinya. ‘Nenek kegatelan itu lagi. Nggak habis-habisnya
melukin Arya. Besok-besok gue gembokin juga tuh cewek biar nggak nempel mulu
ama Arya.’ Rutuk Mia melihat Sonia asyik melekat dengan Arya 24 jam. Ingin saja
rasanya dia pergi dari tempat itu. Bikin sakit mata dan hati saja melihat
kemesraan mereka. Tapi mengingat dia sudah rela bangun tengah malam untuk
membuat kue Tiramisu yang ada di pangkuannya, dia segera membatalkan niatnya
itu. Mia berdiri dan segera mengatur lagkah kearah gerombolan itu.
“Arya” Sapa Mia
memberanikan diri saat berada beberapa langkah didepan gerombolan itu. Mereka
serta merta menghentikan langkah. Tatapan tajam dihadiahkan Arya saat melihat
Mia. Rasanya ingin dia cekik gadis itu. Tidak henti-hentinya gadis itu
mengganggunya sejak kelas satu dulu. Entah apa yang ada didalam otaknya
sehingga terus menerus mengganggu hidupnya meskipun sering diperlakukan dengan
kasar. Mia tersenyum tipis melihat ekspresi Arya yang begitu. Dia sudah biasa.
Dia selalu menganggap tatapan itu sebagai tatapan cinta.
“Ciiieehh…Si
princess ‘gentong’ udah dateng nih.” Celetuk Mike yang disusun derai tawa dari
teman-temannya.
“Biasa….Masih
mencoba nasib. Siapa tau pangeran kita ini berubah fikiran jadi jatuh cinta ama
si gentong.” Timpal Agus. Derai tawa terdengar lagi memenuhi koridor sekolah
itu. Mia hanya membiarkan. Arya sudah naik pitam dengan ledekan-ledekan
teman-temannya.
“Gue…”
“Eh, gentong!”
Bentak Sonia memotong ucapan Mia yang belum selesai bagai siap berperang. “Lo
tuh nggak tuntas-tuntas ya ngeganggu hidup Arya? Lo bener-bener nggak tau malu banget.
Lo fikir, dengan lo ngejer-ngejer Arya, Arya bakalan berubah cinta ama lo gitu?
Woi…sadar donk! Arya mana mungkin jatuh cinta ama badak air kaya’ lo!” Dorong
Sonia kasar membuat Mia hampir terjatuh. Mia merasa marah. Dorongan Sonia
hampir membuatnya terjatuh. Kalau saja dia terjatuh, entah bagaimana nasib kue
Tiramisu yang dibawanya. Untung dia tidak jatuh. Kalau jatuh, siap saja Sonia
jadi sate cincang Mia.
“Lah…gue kan
nggak ngeganggu lo. Kenapa lo yang kebakaran jenggot?” Balas Mia tidak peduli. Sonia
yang mendengar jawaban Mia itu langsung naik darah. Baru saja Sonia melangkah
hendak menampar Mia, Arya langsung menarik tangannya menghentikan tindakannya.
“Arya, ini Tiramisu buatan gue buat lo. Happy birthday, ya. Gue do’a moga lo
dapet yang lo mau.” Ucap Mia manis mengulurkan Kue Tiramisu buatannya kepada
Arya.
Arya maju beberapa langkah mendekati
Mia. Namun tetap tidak menunjukkn reaksi dia akan mengambil kue yang diulurkan
Mia.
“Lo tau apa yang
gue pengen di hari ulang tahun gue?” Mia menggeleng polos. “Gue pengen lo
hilang dari pandagan gue. Gue mau lo pergi jauh dari gue dan berhenti ganggu
hidup gue. Dan kue ini.” Arya merampas kue Tiramisu itu dari tangan Mia. “Gue
benci Tiramisu buatan lo!” Arya langsung membanting kue itu di lantai. Mia terkejut
dengan tindakan Arya.
Suara piring yang melapisi kue itu
pecah. Retak seretak hatinya saat itu. Dia tidak pernah berfikir bahwa Arya
akan melakukan semua itu. Air mata Mia tumpah. Namun tiada isak dalam
tangisnya. Dia masih kaget dengan tindakan Arya barusan. Mia tetap berdiri
mematung memandang kue Tiramisu yang sudh berserakan tanpa bentuk dilantai.
“Denger, ya. Gue
nggak cinta dan nggak bakalan pernah cinta ama lo. GUE BENCI AMA LO!” Pekik
Arya mengungkapkan isi hatinya. Air mata Mia semakin deras. Hatinya begitu
hancur. Lebih hancur dari sebelumnya.
PLAAAKKK!!!!
Sebuah tamparan mendarat
berkali-kali di pipi putih Arya. Arya memandang siapa yang telah berani
menamparnya Bukan Mia. Tapi Amira, sahabat Mia yang telah berada tepat
didepannya. Mia hanya mematungkan diri membiarkan air matanya tumpah.
“Elo bener-bener
keterlaluan, Arya. Selama ini gue diem ngeliat lo nyakitin Mia. Tapi kali ini
lo bener-bener kelewatan. Lo fikir Mia patung yang bisa lo sakitin gitu aja?
Dia juga manusia. Dia punya hati. Dia udah tulus cinta ama lo. Tapi apa yang lo
lakuin ama dia? Lo terus-terusan sakitin dia. Dia udah rela capek-capek tengah
malem bangun cuma buat bikinin kue kesukaan lo karena dia inget ulang tahun lo.
Tapi lo dengan tidak berperasaan ngebanting kue buatannya gitu aja. Lo
bener-bener nggak tau terima kasih, Arya. Muka lo aja yang ganteng. Tapi sifat
lo bener-bener ngejijiin.” Marah Amira meluap-luap. Arya terdiam. Dirasakan
hati dan wajahnya kian memanas. Panas karena menahan malu.
Amira menarik tangan Mia. Tapi Mia
tetap mematungkan diri tidak memberi reaksi apapun.
“ELO NGGAK
BODOH, MIA!!!” Pekik Amira. Amira menarik tangan Mia semakin kasar. Kesal
rasanya melihat Mia hanya mendiamkan diri saat orang lain menyakitinya. Mia
hanya mengikuti arah langkah kaki Amira. Amira membawanya kearah taman belakang
sekolah. Mereka kemudian duduk di tempat yang lebih sepi. Amira mendengus kesal
karena Mia masih diam mematungkan diri dengan air matanya yang masih
menggenang.
“Lo nggak
seharusnya diem kaya’ tadi. Gue paham lo sayang banget ama Arya. Tapi lo juga
nggak bisa biarin dia terus-terusan nyakitin lo.” Marah Amira lagi.
“Gue nggak tau
apa yang salah ama diri gue. Kenapa dia benci banget ama gue? Salahkah kalau
orang gendut kaya’ gue suka ama cowok ganteng kaya’ dia? Apa orang gendut kaya’
gue nggak pantes jatuh cinta? Betapa butanya hati manusia hanya gara-gara
kekurangan fisik mampu membuat mereka menjadi sombong dan tidak menghargai.”
Ungkap Mia penuh sayu.
“Lo nggak
kekurangan fisik. Tapi lo kelebihan fisik.” Balas Amira bercanda berharap Mia
akan menghentikan tangisannya. Dia tidak mau sahabatnya itu terus menerus
menyalahkan nasibnya. Mia tertawa pelan mendengarkan candaan itu.
“Lo emang nggak
pernah bisa serius. Gue lagi dapet feel, lo dengan seenak badak bikin candaan.”
Gerutu Mia memanyunkan bibir.
“Hey…kenapa lo
mesti nangis? Gue nggak suka ngeliat lo nangis. Apalagi nangisin orang nggak
tau terimakasih kaya’ dia. Lo nangis darah pun sekarang ini, gue jamin dia
tetep nggak bakalan peduli. Jadi kenapa lo mesti nguras tenaga buat nangisin
dia?” Mia mengangguk pelan dan tersenyum tipis. Air matanya segera dikesat.
@------------------#-----------------@
Sudah hampir sebulan Mia mendiamkan
diri dari Arya. Dia tidak pernah mencoba untuk menemui Arya. Dia sengaja
menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan ekskul sekolah dan lebih giat
belajar. Hari-harinya dipenuhi dengan berbagai kegiatan terlebih kegiatan
belajar bersama dengan teman-temannya. Dia benar-benar telah mengambil
keputusan untuk tidak mengganggu laki-laki itu lagi. Dia juga sudah bertekad
tidak mau menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tidak berguna seperti dulu.
Setidaknya sampai akhir semester ini. Maka semuanya akan berakhir.
Mia benar-benar bersungguh-sungguh
dalam usahanya. Dengan sedaya upaya dia mencoba agar tidak bertemu dengan
laki-laki itu. Bahkan dia membawa bekal makan siang agar bisa dimakan dimana
saja dan tidak perlu ke kantin. Alasannya sudah jelas, dia tidak ingin bertemu
dengan laki-laki itu lagi. Selain itu, dia juga berusaha untuk menurunkan berat
badannya. Makanannya diganti dengan sayur-sayuran dan buah-buahan.
Ditinggalkannya makanan berat yang dirasanya menjadi pemicu utama kenaikan
berat badannya.
Sesekali Mia memang bertemu secara
tidak sengaja. Tapi jika itu terjadi, Mia akan berusaha mengalihkan
perhatiannya. Berpura-pura tidak melihat Arya.
Sedangkan Arya, sejak kejadian itu
dia tau bahwa Mia mencoba untuk menghindarinya. Pada minggu pertama, dia merasa
benar-benar lega dan tenang karena tidak ada lagi si badak air yang
mengganggunya seperti biasa. Tapi entah mengapa, semakin hari dia merasa tidak
nyaman. Dia tidak nyaman dengan situasi itu. Terasa terlalu sepi. Entah
mengapa, dia merasa bahwa dia merindukan kehadiran gadis itu. Dia rindu gelak
tawanya. Dia rindu dengan sikap acuh tak acuhnya apabila di bentak. Dia rindu
bekal makan siang yang selalu dibawa gadis itu untuknya. Dia rindu semuanya.
Terkadang rasa menyesal itu seringkali menghinggapinya. Menyesal karena telah
bersikap kasar terhadap gadis itu.
Arya ingin minta maaf. Tapi dia
sendiri buntu bagaimana caranya agar bisa minta maaf sementara Mia masih acuh
tak acuh kepadanya. Gadis itu terus menerus berpura-pura tidak memperdulikan
kehadirannya. Bahkan pernah dia nekad menemui gadis itu didalam kelas. Tapi Mia
malah langsung pergi meninggalkannya.
Sampai pada suatu hari untuk kesekian kalinya, dia mencoba untuk menemui
Mia lagi.
Hari itu bel tanda istirahat telah
berbunyi. Arya langsung saja berlari keluar kelas. Dia nekad akan menemui Mia.
Dia benar-benar merasa bersalah dan dia perlu minta maaf pada gadis itu
secepatnya. Entah mengapa dia merasa sudah tidak punya banyak waktu lagi.
Arya mengatur langkahnya setelah
berada di ambang pintu kelas Mia, kelas 2 IPS-A. Suara deru nafasnya yang
terengah-engah memecah kesunyian kelas yang nyaris kosong itu. Mungkin siswa
kelas itu sudah pergi ke kantin mengisi perut. Dia melihat Mia duduk di bangku
paling pojok kelas sambil memandang kosong pada ruangan kelas sambil
menyandarkan tubuh pada tembok kelas. Tidak ada lagi keceriaan pada wajah
tembam putih itu.
“Khmmm….” Arya
berdehem pelan saat jarak mereka sudah semakin dekat. Mia mengalihkan pandangan
mencari sumber suara deheman tersebut. Mia hanya melihat sekilas pada Arya
kemudian kembali pada pandangannya semuala dengan tetap menunjukkan ekspresinya
datar seolah-olah tidak berminat dengan kehadiran Arya. Tapi hatinya hanya
Tuhan yang tau betapa dia merasa sangat tergetar. “Gue boleh duduk disini?”
Tanya Arya menunjuk kursi yang berada tepat didepan meja Mia. Mia masih
terdiam. Arya kemudian memutuskan untuk duduk
di bangku depan Mia. Mia menghela nafas pelan sebagai tanda protes. Arya
pura-pura tidak melihat tatapan tajam Mia. Mereka terdiam. Sementara itu Arya
mencoba untuk mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. “Mia….. Gue mau minta maaf
ama lo.” Sunyi. Tidak ada sahutan. “Gue udah buat banyak salah ama lo.”
“Nggak ada yang
perlu di maafin. Gue yang salah udah ganggu lo selama ini.”
“Mia, please
jangan bilang gitu. Gue…” Kalimatnya terputus. Entah mengapa kalimatnya terasa
tercegat di tenggorokan. Ingin saja dia meluahkan apa yang terkunci di hatinya.
Tapi dia tau itu tidak mungkin. Kemudian dia merogoh kantong celananya dan
menyerahkan sebuah tiket bioskop film favourite Mia. “Gue tunggu jam tujuh
entar malem.” Ucapnya mletakkan ticket bioskop itu diatas meja kemudian pergi
meninggalkan Mia yang masih memandang sepi pada ticket bioskop tersebut tanpa
berniat mengambilnya.
@------------------#-----------------@
“Lo beneran mau
pindah sekolah? Lo beneran mau ngerelain perasaan lo dan lupain dia?”
Pertanyaan Amira hanya Mia biarkan berlalu bersama angin sore itu. Entah harus
menjawab apa. Dia sendiri tidak yakin akan keputusannya. Apakah dia akan mampu
menghadapi semuanya? Akahkah dia mampu menahan gejolak rindu dihatinya setelah
dia pergi meninggalkan tempat dimana cintanya telah terpaut dan bersemi? Dia
sendiri tidak tau. Mia hanya menghela nafas berat untuk menjawab pertanyaan
itu.
Mia melayangkan pandangannya pada
hamparan laut didepannya. Nuansa biru pada laut itu begitu menenangkan. Angin
yang bertiup sepoi menerbang-nerbangkan helaian rambut panjangnya. ‘Mengapa
tidak pergi saja perasaan ini bersama tiupan angin? Agar aku tidak merasakan
beban yang sama setiap hari selama hampir 2 tahun ini. Dan yang terpenting, dia
tidak perlu pergi meninggalkan kota ini hanya untuk menghilangkan perasaan
menyakitkan ini.’ Rutuknya dalam hati. Mia memejamkan kedua belah matanya.
Mencoba menikmati irama deburan ombak pantai.
“Mia!” Panggil
Amira sekali lagi sambil menepuk pelan paha Mia menyadarkan gadis itu dari
lamunannya.
“Entahlah, Am.
Gue juga nggak yakin. Gue nggak yakin apakah ini keputusan yang tepat buat gue.
Gue juga nggak yakin apakah gue bisa ngelewatin ini semua, ngejalanin hari-hari
gue tanpa dia. Tapi gue masih bisa nyoba. Mungkin bakalan sakit. Tapi gue
bakalan lebih sakit lagi kalau gue ada disini. Semakin banyak dosa gue udah
bikin dia sakit hati karena sikap gue yang selalu ngeganggu hidup dia. Kalo’
gue pergi, setidaknya sakit gue karena rindu. Tidak ditambah lagi dengan
sikapnya yang tiap kali nolak gue dengan kasar. Toh juga cinta nggak harus
memiliki. Gue harap ini pilihan terbaik buat gue. Gue yakin, Allah udah nyiapin
yang terbaik buat gue.” Terang Mia
panjang lebar. Sebenarnya, kalimat itu adalah kalimat untuk dirinya sendiri
agar bisa membujuk perasaannya yang semakin terluka. Dia berharap luka itu akan
segera sembuh setelah dia pergi. Meskipun dia tau harapan itu cuma ‘hopeless’.
Tapi tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini kan? Mia tersenyum tipis. Entah
apa arti senyumannya kali ini. Dia sendiri tidak tau.
“Gue cuma bisa
do’a yang terbaik buat lo. Semoga ini keputusan yang terbaik.” Mia tersenym
tipis.
“Setelah
semester ini berakhir, gue harap gue bisa ninggalin dan kuburin perasaan ini
disini. Gue harap nggak ada lagi perasaan sakit yang gue bawa pergi.” Ucap Mia
pada dirinya sendiri. Mencoba menahan rasa sakit dihatinya.
@------------------#-----------------@
07.55 pm.
Arya mengeluh saat melihat angka
yang terpampang dilayar jam tangan hitamnya. Kakinya tidak berhenti
mondar-mandir di ruang tunggu bioskop. Film sudah hampir dimulai. Panggilan
yang terdengar dari speaker untuk menyuruh pemilik ticket untuk masuk sudah
bergema untuk kesekian kalinya. Sudah satu jam lebih dia menunggu Mia. Tapi
gadis itu tidak memberikan tanda-tanda bahwa dia akan muncul. Dia menyesal
tidak pernah menyimpan nomor handhpone Mia. Sekarang dia yang merasa susah
tidak dapat menghubungi gadis itu.
Arya kemudian duduk diatas sofa di
ruang tunggu itu. Matanya hanya menatap kearah pintu masuk berharap Mia akan
segera datang. Namun yang dilihatnya bukan Mia, melainkan Amira dan Sonia.
Kedua gadis itu berjalan semakin mendekat kearahnya. Arya mengerutkan dahi
tanda bertanya kepada Amira tentang keberadaan Sonia.
“Hi, Sayang!”
Sapa Sonia mulai memeluk lengan Arya namun segera ditepis. Sonia memanyunkan
mulut dan kemudian memeluk tubuh.
“Mir, ini kok
ada Sonia? Mia mana?” Tanya Arya meminta penjelasan.
“Ini titipan
buat lo.” Amira menyerahkan sebuah surat bersampul biru kepada Arya. Arya mulai
membuka surat tersebut dan membaca isinya.
Dear, Arya
Pertama-tama gue mau minta maaf ama lo. Gue nggak
bisa dateng nonton bareng lo. Tapi gue udah minta Sonia gantiin gue. Gue
ngerasa kurang pantes kalau harus pergi nonton bareng lo. Apa kata temen-temen
lo nanti kalau gue pergi jalan bareng lo?
Well, saat lo baca surat ini, gue udah nggak ada.
Gue udah pergi jauh dari lo. Yahhh….gue pindah. Gue cuma mau bilang maaf ama
lo. Y ague juga sadar nggak ada kata-kata lain yang pas buat gue ucapin ke elo
selain maaf. Selama ini gue udah banyak nyusahin hidup lo. Gue sering
ngejar-ngejar lo sampai temen-temen lo ngeledikin lo. Gue emang malu-maluin
banget. Sorry buat itu semua. Tolong maafin gue biar gue bisa hidup tenang
ditempat baru gue.
Terakhir yang gue harapin, moga elo baik-baik aja.
Moga lo bahagia dimanapun elo berada.
Salam sayang,
Mia.
Arya meremas surat itu. Dia pergi
meninggalkan kedua-dua gadis itu tanpa sepatah katapun. Sementari Sonia terus
memanggilnya tapi tetap tidak digubris. Dibuangnya surat Mia yang dibacanya
tadi dan membuangnya ke tong sampah. Untuk pertama kalinya hatinya terasa
begitu sakit. Air matanya mulai bergenang perlahan di tubir matanya.
@------------------#-----------------@
Mia
berjalan dengan santai di pelataran mall. Matanya melilau ke kiri dan ke kanan.
Mencari sesosok tubuh yang menunggunya entah dibagian mana dari mall itu.
Diliriknya Hp yang senantiasa tergenggam ditangannya.Ia mengeluh perlahan.
Hpnya mati. Untuk kesekian kalinya, dia selalu lupa mengecas Hp nya. Ini karena
kebiasaannya yang selalu mematikan Hp pada tanggal special ini karena tidak
ingin di ganggu. Ini pertama kalinya dia keluar rumah pada tanggal 6 oktober
setelah 8 tahun mengurung diri. Dia memang selalu mengurung diri pada pada
tanggal 6 oktober di rumahnya bertemankan laptop kesayangan, sebuah kue
tiramisu berbentuk hati lengkap dengan lilin, dan sebuah diary merah
kesayangannya. Hingga wajar saja jika dia kali ini lupa mengecas Hpnya walaupun
sudah berulang kali diingatkan.
Setelah lama berputar-putar, Mia
akhirnya merasa bosan. Dia kemudian memutuskan untuk duduk di samping kolam
ikan mas yang mengitari lift yang terletak di tengah-tengah mall itu. Matanya
asyik memperhatikan sekelilingnya. Matanya kemudian terhenti pada sebuah toko
roti. Dia dapat melihat dengan jelas jejeran kue-kue yang terpajang di etalase
toko. Mia tersenyum kecil kemudian bangun dan menggerakkan kakinya kearah toko
roti tersebut.
Baru saja Mia melangkah memasuki
area toko , seketika itu aroma roti dan kue terasa manis memenuhi ruangan
begitu menusuk di hidung. Mia menghirup aroma itu dalam-dalam. Benar-benar
aroma yang menggiurkan. Mia melangkahkan kakinya menyusuri jejeran etalase yang
di penuhi oleh berbagai jenis kue dan roti. Ada cupcake, chocolate mousse,
bolu, roti prancis, roti wina, roti italia, dan…….. ‘Tiramisu!’. Jerit hati
Mia.
Mia menghentikan langkahnya tepat
didepan jejeran kue Tiramisu. Matanya ligat memperhatikan kue-kue Tiramisu yang
tersusun rapi sesuai denga bentuk dan ukurannya di dalam etalase yang berada di
bagian paling pojok ruangan. Dia tertarik dengan sebuah Tiramisu berukuran
standar dengan bentuk lingkarang yang dihiasi dengan krim coklat berbentuk
mawar dan ditaburi coklat bubuk. Mia tersenyum tipis dan mengulurkan tangannya
untuk mengambil kue Tiramisu. Tapi kemudian tindakannya di hentikan. Untuk apa
dia membeli kue Tiramisu itu? Dia bahkan tidak menyukai Tiramisu. Ya, dia tidak
suka memakan Tiramisu. Dia hanya suka memandangnya dan membelinya untuk
perayaan ulang tahun Jimmy, hari ini. Tapi…. Dia juga sadar. Semua itu sia-sia.
Kue yang dibuatnya tadi malam pun bahkan tidak dijamahnya sama sekali. Hanya
dibiarkan begitu saja dimakan oleh adik-adik dan keluarganya setelah dia
selesai memotong-motongnya dan di masukkan kedalam kulkas. ‘Jimmy bahkan tidak
pernah tau. Bahkan mungkin tidak pernah peduli’. Rutuknya sedih dalam hati. Mia
menghembuskan nafas kesal.
Dia kemudian berdiri tegak dan
membalikkan tubuhnya. Bersiap-siap untuk pergi meninggalkan toko roti tersebut.
Namun baru saja dia melangkahkan kakiknya, badannya terasa terpantul dan
membuatnya mengundurkan langkah karena menabrak sebuah tubuh yang berdiri tegak
tepat dibelakangnya.
“Maaf, saya
tidak sengaja.” Ucap Mia sopan sambil menundukkan sedikit kepalanya tanpa
memandang wajah oarng yang berada di depannya. Tiada respon. Mia yang hanya
menunduk memerhatikan sepasang sepatu yang terpasang dikaki orang yang
ditabraknya itu. Dari sepatunya, dia yakin orang yang di depannya adalah
seorang laki-laki. Tapi kaki laki-laki itu tidak bergerak sama sekali. Karena
merasa tidak ada respon, Mia berniat untuk pergi meninggalkan tempat itu untuk
memberi ruang bagi laki-laki itu yang mungkin juga ingin membeli kue Tiramisu
karena dia juga berada di depan barisan kue Tiramisu.
“Mia.” Panggil
suara didepannya. Mia mengangkat kepala untuk melihat siapa laki-laki yang
menyebut namanya ini. Mia kemudian terdiam. Mata mereka bertaut satu sama lain.
Membiarkan setiap pancaran mata dan kerutan di kening berbicara. “Mia Qaishara,
ini kamu?” Laki-laki di depannya bertanya untuk memastikan. Mia terdiam.
Mencoba memproses apa yang sedang terjadi. Menggali informasi dari otaknya
untuk mengingat siapa laki-laki di depannya sekarang ini. Wajah yang putih,
dagu yang runcing, mata hitam tenang, bibir kecil tipis berwarna merah, poni
acak menutupi dahi dan tubuh jangkung. Kemudian seketika itu, potongan-potongan
kenangan itu kembali lagi. Kenangan 8 tahun lalu, saat dia menangis di pondok
kecil karena terpisah dari rombongan camping, suara tawanya karena suratnya dibaca,
suara ledekan, cacian, makian, dan terakhir suara piring berisikan Tiramisu
yang terhempas di lantai. Mia merasakan hatinya terasa begitu sakit seketika.
Seperti teriris-iris. Mia sendu. Air matanya tergenang kemudian pecah di kedua
belah pipinya yang putih.
Laki-laki di depannya kemudian
memeluknya dengan erat. Laki-laki itu menangis terharu. Melepaskan rindu dan
berton-ton beban yang terasa berat dihatinya. Beban cinta dan rindu yang selama
ini terbawa bersama hati seorang gadis yang pernah dihancurkannya.
“Mia, gue kangen
banget ama lo. Lo kemana aja selama ini? Gue udah lelah nyariin lo kemana-mana.
Kenapa lo pergi gitu aja ninggalin gue? Kenapa? Lo bahkan nggak ngasih gue
kesempatan buat bilang kalo’ gue juga sayang ama lo. Lo nggak ngizinin gue tau
keberadaan lo. Lo tinggalin gue gitu aja. Kenapa lo mesti ngehindarin gue dan
nggak ngebiarin siapapun ngasih tau keberadaan lo? Lo tau, gue kangen banget
ama lo. Sejak lo pindah sekolah, gue ngerasa bener-bener kesepian. Gue ngerasa
kehilangan lo. Gue sayang ama lo.” Ungkap laki-laki di depannya. Mia tidak
bereaksi. Dia hanya membiarkan air matanya mengalir deras.
Ingin rasanya dia mengatakan bahwa
dia juga sangat merindui laki-laki ini. Dia juga sangat mencintainya. Bahkan
rasa cintanya sekarang jauh lebih besar dibandingkan dulu. Tapi apa dia harus
mengatakan semua itu juga? Itu tidak mungkin. Semuanya sudah terlalu terlambat.
Laki-laki itu melepaskan
pelukannnya. Dia kemudian mengusap lembut kedua belah pipi Mia. Diusapnya air
mata mia dengan kedua ibu jarinya.
“Mia, gue minta
maaf atas kejadian yang dulu itu. Gue sadar, gue udah banyak salah ama lo. Gue
terlalu egois dan gengsi ngakuin perasaan gue ke elo. Tapi please, gimme one
more chance. Gue nggak bakalan sia-siain lo lagi. Gue bakalan perbaikin
semuanya.” Janjinya penuh yakin.
Mia menelan ludah yang terasa
tersekat di tenggorokan. Ditariknya tangan laki-laki itu menjauhi pipinya. Mia
menggenggam tangannya lembut. Air matanya masih mengalir deras.
“I’m so …sorry.”
Mia memandang tepat kearah mata laki-laki itu. “But I can’t.” Jawab Mia dengan
suaranya yang semakin serak. Air matanya semakin deras. Laki-laki itu
memandangnya penuh dengan rasa tidak mengerti.
“But why?” Desak
laki-laki itu penuh dengan rasa cemas.
“It’s too late.
Everything has change, Arya.” Balas Mia.
“Maksud…lo?’’
Tanya Arya ragu. Ragu tentang apa yang akan di dengarnya. Ragu akan
perasaannya. Bisakah dia menerima segala kemungkinan buruk?
“Gue…”
“Mia!!!” Panggil
sebuah suara memotong kalimat Mia. Mia menoleh kearah sumber suara. Irsyad yang
baru masuk kedalam toko roti itu melambaikan tangannya dan berjalan santai
kearah Mia. Mia segera melepaskan genggamannya pada tangan Arya dan mengesat
air matanya. “Hai, sayang. Kamu kemana saja?” Tanya Irsyad saat sudah hampir
mendekati Mia. “Aku dari tadi udah nungguin kamu di….hey, kamu kenapa? Matamu
sembab?” Tanya Irsyad tidak melanjutkan kalimatnya saat melihat mata Mia yang
sudah sembab.
“Aku nggak
apa-apa. Cuma terharu ketemu temen lama.” Jawab Mia berbohong sambil
menunjukkan jarinya kearah Arya. Iryad langsung menoleh kearah laki-laki yang
di tunjuk oleh Mia.
“Ini temanmu?”
Tanya Irsyad sambil tangannya menuding kearah Arya.
“Eh ya….Kenalin,
ini Arya, sahabat lamaku. Arya, ini Irsyad, calon suamiku.” Ujar Mia
memperkenalkan mereka berdua. Kedua laki-laki itu saling berjabat tangan.
“Oh jadi kamu
sahabat Mia? Kalo’ gitu, kamu mesti dateng ke acara pernikahan kami minggu
depan. Mia pasti senang kamu dateng.” Undang Irsyad sambil mengusap rambut Mia.
Arya yang mendengar perkataan Irsyad tersentap kaget. Minggu depan? Kenapa
secepat itu? Rutuk Arya dalam hati. Arya tersenyum tipis dan mengangguk. Tapi
sakit di hati hanya Tuhan yang tau. Mia dengan sedaya upaya mengukir senyum.
Tapi hambar. Dia tau Arya sedih. Tapi hatinya juga lebih sedih. ‘It’s too
late’. Rutuk Mia dalam hati. “Oh ya. Kami pergi dulu ya? Kami mau nyari gaun
pengantin. Jangan lupa dateng ya?” Sekali lagi Arya mengangguk pelan dan
menghadiahi mereka berdua sebuah senyuman. Irsyad kemudian merangkul Mia untuk
segera pergi dari toko roti itu. Arya masih terdiam kaku. Hanya bisa memandang
tubuh gadis yang disayanginya dirangkul dan semakin jauh meninggalkannya. Mia
menoleh ke belakang menatap Arya dan memberikan senyuman tipis sambil terus
meninggalkan Arya. Arya tak mampu memberikan reaksi apa-apa atas senyuman itu.
Apakah itu sebuah senyuman perpisahan, atau senyuman kemenangan karena telah
menghancurkan hatinya. Tapi apa yang pasti, hatinya sakit dan pilu.Mia dan
Irsyad semakin jauh. Kemudian menghilang di balik pintu toko dan kerumunan
pengunjung yang berlalu lalang.
@---------@
Jangan lupa komen ya?! Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan!! See yaa...!!
BY: R.A