Kamis, 16 Juni 2016

Kembalilah, Cinta!

Edit Posted by with No comments

I love you more then i did before
And if today I don’t see your face
Nothing changes. No one can take your place
It gets hard everyday[1]
            Suara Miley Cyrus bersenandung melantunkan lagu “Stay” memecahkan kesunyian malam itu. Seorang gadis masih sibuk menyusun dan merapikan tangkai-tangkai bunga yang telah dirapikan daunnya. Dia ingin segera menutup toko bunga milik Mamanya. Karena kebetulan hari ini Papa dan Mamanya sedang pergi ke luar kota, sedangkan Kak Shasya sedang ada camping sehingga tidak ada yang menjaga toko bunga milik Mamanya. Dia terpaksa mengalah.
“DOORR!” Seseorang mengagetkannya dari belakang. Nisya mengurut dada dan membalikkan tubuhnya melihat orang yang sangat dikenali suaranya itu.
“Lo tuh ya nyebelin banget! Untung gue nggak sakit jantung. Kalau nggak, bisa game over gue malam ini.” Ucap Nisya marah sambil berkecak pinggang.
“Nyebelin-nyebelin gini, gue juga yang lo kangenin.” Canda Arga. Nisya segera membuat gerakan ingin muntah.
“Ngapain lo dateng kesini malem-malem gini?”
“Mau beli bunga lah. Masa mau jogging?”
“Iya deh iya. Gue salah nanya. Lo mau beli bunga apa?”
“Mawar merah.” Nisya tersentak.
“Untuk siapa?”
“Marrie.” Jawab Arga sepatah. Nisya merenung wajah sahabatnya itu. “ Ngapain lo natap gue kayak gitu?”
“Nggak…eh….nggak apa-apa.” Nisya berlalu mengambil sejambak bunga yang telah dihias rapi beberapa saat tadi sebelum Arga datang. “Lo mau ke acara ultahnya ya?”. Tanya Nisya lagi menyerahkan karangan bunga tersebut. Sekali lagi Arga mengangguk. “Ngasih kado apa?”
“Cincin. Gue mau ngelamar dia. Gue udah nggak mau nunggu lagi.” Senyum Arga sumringah. Nisya hanya mengangguk mendengarkan kata-kata Arga. “Nih.” Arga menyerahkan uang lima puluh ribuan.
“Nggak usah. Ini gratis buat lo.” Tolak Nisya. Arga sudah tersenyum panjang.
“Makasih, sayang! Lo baik banget deh!” Puji Arga. Nisya hanya tertawa hambar. “Ya udah. Gue cabut dulu.”
“Good luck!” Balas Nisya melambaikan tangan kepada Arga. Arga meninggalkan toko bunga tersebut. Memasuki mobil Jaguarnya. Nisya menyentuh dadanya perlahan. Sakit.
@------------------#-----------------@
“Lo kenapa sih monyok gitu?” Tanya Nisya duduk di balik meja di depan Arga.
“Gue putus.” Jawab Arga sepatah lalu menelungkupkan wajahnya diatas meja. “Sakit banget rasanya waktu dia nolak gue. Gue nggak paham kenapa dia nggak mau nerima lamaran gue. Kita kan bukan setahun dua tahun pacaran?”
“Mungkin dia belum siap.”
“Tapi itu bukan alasan yang tepat buat mutusin gue!” Bentak Arga. “Hati gue sakit banget.” Nisya mengeluh perlahan.
“Lebih sakit mana dari ngeliat orang yang kita sayang bersedih untuk orang lain?”
“Maksud lo?”
“Selama 15 tahun kita kenal, lo satu-satunya cowok yang bisa bikin jantung gue bergetar. Gue jatuh cinta ama lo dan gue selalu ngasih tanda ke elo. Tapi lo nggak pernah nganggep gue. Tau kenyataan bahwa lo pacaran ama Merrie, itu buat gue sakit banget. Tapi gue diem aja. Sekarang, gue nggak tahen lagi. Gue pengen lo tau kalo gue sayang dan cinta ama lo. Please belajar cintain gue.” Nisya menggenggam tangan Arga erat. Laki-laki itu hanya menatapnya. Mungkin terkejut. Nisya mengeluh pelan. “Gue nggak maksa lo kok. Sekurang-kurangnya, belajarlah buat cintain gue.” Ucap Nisya Melangkah pergi meninggalkan Arga.
@------------------#-----------------@
            Beberapa hari setelah kejadian Nisya mengungkapkan perasaannya kepada Arga, Arga pun mendatanginya dan menyatakan bersedia belajar mencintainya. Kini mereka telah resmi berpacaran. Sudah 5 bulan mereka menjalani ikatan percintaan. Tidak banyak yang berubah. Hanya panggilan ‘sayang’ saja yang sudah mulai berubah. Nisya tidak peduli. Dia butuh banyak waktu. Bisik hati Nisya.
            Hari ini dia berjalan-jalan ke toko roti Mollie. Toko roti yang teletak persis disamping Café NN. Tempat favouritenya dan Arga. Dia ingin mengambil kue ulang tahun yang dipesannya kemarin. Hari ini adalah hari ulang tahun Arga. Dia ingin memberikan kejutan untuk Arga. Sedangkan kado ulang tahun sudah dipersiapkannya jauh-jauh hari dan diletakkan didalam mobil.
            Setelah mengambil kue pesanannya, dia ingin singgah sejenak di Café NN. Entah mengapa dia terasa ingin sekali minum kopi. Terlebih saat hujan seperti hari ini. Nisya berlari kecil menghindari hujan kearah mobilnya untuk menaruh kue kedalam mobilnya agar tidak basah oleh hujjan. Namun baru menutup pintu mobil dan hendak melangkah ke Café NN, langkahnya otomatis terhenti. Dibalik tembok kaca Café, dia melihat Arga bersama Merrie. Merrie Nampak memberikan sebuah bingkisan kado berukuran sedang. Arga terlihat sangat senang. Merrie memaut lengan Arga sangat mesra seperti pasangan yang sedang berpacaran.
Hatinya keliru. Nisya kembali kedalam mobilnya. Kepalanya disenderkan pada sandaran mobil. Diraihnya Hp nya yang terletak diatas dashboard dan mulai men-dail nomer Arga.
“Hi, sayang!” Sapa Nisya pura-pura ceria.
“Oh..hh..hai.”Jawab Arga ragu.
“Kamu lagi dimana?”
“Aku…lagi di rumah. Kenapa?” Nisya mulai menahan isak.
“Nggak. Nggak apa-apa. Aku cuma mau ngingetin jangan lupa makan.”
“Oh..iya aku udah makan kok.”
“Jaga diri baik-baik ya, sayang.” Ucap Nisya menutup pembicaraan. Nisya mulai terisak. Diliriknya Arga dan Merrie yang kembali ngobrol dan bercanda. Nisya menyentuh dadanya yang terasa begitu sakit. Betapa teganya Arga akan menyakitinya seperti itu. Mesin mobil mulai dihidupkan dan mulai menyetir meninggalkan pekarangan Café. Dipandunya mobilnya menuju kerumah Arga. Dengan pakaian yang mulai basah, Nisya memencet bell rumah Arga. Seorang pria tampan berdiri didepannya.
“Eh Nisya. Kok ujan-ujanan gini. Ayo masuk. Arga lagi nggak di rumah. Tapi bentar lagi juga pulang.” Terang Rasya, Kakak Arga.
“Ah nggak kok, Kak. Aku nggak  mau ketemu Arga. Aku cuma mau nitip ini. Tolong kasikan ke Arga.” Nisya menyodorkan bungkusan plastic putih yang sudah basah dan sebuah kado berwarna biru tua. Warna kesukaan Arga. Rasya mengambil bungkusan itu. Dia menatap wajah Nisya yang terus dibasahi oleh air mata. Memang tidak terlihat jelas karena kondisi wajahnya yang basah. Tapi suara Nisya yang serak membuat Rasya tau bahwa Nisya sedang menangis.
“Kenapa nggak kasih sendiri saja?”
“Ah..hmm…nggak. Nggak apa-apa. Sampaikan kepada Arga, jaga diri baik-baik.” Nisya terdiam sejenak mengumpulkan kekuatan. “Aku pergi dulu, Kak.” Pamit Nisya kemudian. Rasya hanya mengangguk. Tidak ingin memaksa. Dia hanya menatap punggung Nisya yang semakin menjauh dan menghilang dibalik mobilnya.
@------------------#-----------------@

Nisya membuka pintu rumahnya. Nampak kedua orang tua dan Kak Shasya sedang asyik berbincang di ruang keluarga sambil menikmati acara Televisi. Namun perbincangan mereka terhenti tatkala mendengar suara pintu terbuka cukup keras dari pintu utama. Nisya yang berlari dengan basah kuyup sambil menangis menjadi tumpuan perhatian mereka. Mereka saling pandang penuh rasa tanda Tanya. Akhirnya, Shasya memutuskan untuk melihat apa yang sedang terjadi pada Nisya.
“Nisya! Kamu kenapa, dek? Nisya!” Panggil Shasya sambil mengetuk pintu kamar Nisya berkali-kali. Tidak ada sahutan dari dalam. Hanya suara isakan tangis terdengar perlahan. Shasya memulas handle pintu. Menjengukkan kepalanya kedalam melihat Nisya yang sedang duduk memeluk lutut disamping springbed. Pakainnya masih basah kuyup. Shasya mendekati adiknya dan duduk disampingny. Dibelainya perlahan rambut basah Nisya. “Kamu kenapa, dek?” Tanyanya perlahan. Nisya tidak menjawab melainkan langsung memeluk erat tubuh adiknya itu.
“Nisya nggak tau apa salah Nisya, Kak. Apa Nisya terlalu memaksa Arga mencintai Nisya, Kak? Apa salah apabila Nisya meminta sahabat Nisya sendiri untuk belajar mencintai Nisya? Nisya tidak berharap banyak, Kak. Hanya sekedar dia bisa mencintai Nisya sepenuh hatinya. Nisya hanya ingin dia menjadi satu-satunya imam yang akan mendampingi Nisya. Nisya ingin menjaganya sepanjang hidup Nisya.” Tutur Nisya bertalu-talu. Mengertilah Shasya akan apa yang tengah terjadi dengan adik kesayangannya itu.
“Dek…Kadang Allah hanya menitipkan perasaan itu hanya sebagai pembelajaran tentang rasa kecewa. Bukan untuk kamu miliki. Mungkin dia bukan jodohmu. Sabar ya, sayang.” Nisya dengan masih tersedu-sedu melerai pelukannya.
“Kak, katakana pada Papa dan Mama bahwa Nisya menerima tawaran beasiswa ke Jerman itu dan Nisya mau berangkat malam ini juga.” Ucap Nisya mantap. Shasya mengelap air mata adiknya dan mengangguk perlahan.
@------------------#-----------------@
5 tahun kemudian…….
“Huh..!” Sebuah keluhan terdengar dari bibir Nisya. Tangannya ligat mengibas-ngibaskan pakaiannya yang basah akibat hujan. Hujannya deras banget. Gimana gue bisa pulang nanti? Rutuk hati gadis berbibir mungil itu menatap kearah jalan raya yang basah dan becek tersiram air hujan. Dia kemudian melangkahkan kakinya menuju kedalam Café. NN Café  yang menjadi tempat favouritenya dulu sebelum dia menghilangkan diri ke Jerman.
            Nisya memilih duduk di salah satu bangku yang terletak di pojokan Café. Seorang pelayan wanita mendekatinya dan dia mulai memesan beberapa menu untuknya sekaligus untuk Shasya. Diliriknya jam tangan yang bertengger di lengan kirinya. Sudah menunjukkan pukul 16:25 sore. Namun Shasya tidak menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Nisya memandang kearah tembok kaca yang mengelilingi kafe. Gerakan air hujan meliuk-liuk diantara kaca bening itu. Memorinya kembali menayangkan potongan-potongan kenangan lama. Dahulu, dia pernah mengis dipinggir jalan dibalik tembok kaca ini.
“Hi, Dek. Maaf tadi Kakak beli cincin dulu sama Kak Raka.” Sapa Shasya yang entah sudah sejak kapan berdiri disampingnya.
“Iya deh. Mentang-mentang udah mau nikah.” Sindir Nisya yang sudah memanyunkan bibir tanda merajuk. Shasya tertawa melihat tingkah adiknya yang masih tidak berubah dari sikap merajuk dan manjanya.
“Udah gede gini masih aja suka ngambek.” Ledek Shasya.
“Biarin.” Balas Nisya yang tidak mau mengalah. “Oh ya, Kakak mau ngapain ngajakin aku kesini? Mau ngomong aja harus kesini. Kan masih bisa ngobrol di rumah.”
“Sebenarnya bukan Kakak. Tapi ada seseorang yang mau ketemu sama kamu.”
“Nisya!” Panggil sebuah suara perlahan sebelum Nisya sempat bertanya. Nisya menoleh.
            Matanya melebar saat melihat sesosok tubuh yang sangat dia kenali. Seseorang yang pernah mengisi hatinya suatu ketika dahulu. Bahkan masih hingga saat ini. Nisya menekup mulutnya. Dadanya terasa sesak seketika. Nisya berlari kencang meninggalkan Shasya dan Arga yang diam terpaku. Arga ikut berlari mengejar Nisya. Shasya yang tidak mau ikut campur terlalu dalam hanya mendiamkan diri memperhatikan mereka pergi meninggalkan Café.
“Nisya, Please kasih aku kesempatan buat ngomong!” Teriak Arga. Namun Nisya tidak mengendahkan teriakan itu. Dia masih berlari menembus air hujan yang semakin deras. Arga tetap mengikuti rentak langkah gadis itu. Langkahnya justru semakin kencang menyaingi langkah Nisya. “Nisya, Please!” Bentaknya sekali mendapatkan tangan Nisya. Ditariknya tangan Nisya agar tubuh mereka semakin dekat. Dipeluknya Nisya dengan erat. Gadis itu meronta minta untuk dilepaskan.
“Lepasin aku!” Pekik Nisya.
“Nggak! Aku nggak bakalan pernah ngelepasin kamu lagi. Seumur hidup, aku nggak bakalan pernah ngelepasin kamu lagi.” Ucap Arga sambil menangis. Untuk pertama kalinya, Nisya melihat Arga menangis hanya untuknya. Air matanyapun ikut tumpah.
“Aku ingin pergi. Mengapa kamu selalu menahanku? Mengapa kamu datang lagi?” Marah Nisya.
“Maafin aku, Sya. Dulu aku memang bodoh. Ngelepasin orang yang benar-benar sayang padaku hanya untuk orang yang tidak pernah mencintaiku. Aku telah melepaskan sahabat terbaik yang tidak akan pernah aku dapatkan lagi di dunia ini. Tapi sungguh, aku nggak pernah mempermainkanmu. Ya, kuakui dulu aku memang ragu terhadap perasaanku. Aku tidak pernah benar-benar memahami perasaanku sendiri. Tapi setelah kamu pergi, aku mengerti apa arti setiap getaran didadaku saat kita bertemu.”
“HENTIKAN! CUKUP!!!” Nisya melepaskan pelukan Arga dengan kasar. “AKU BENCI KAMU!” Nisya berlari meninggalkan Arga.
“NISYA!!!! AKU CINTA KAMU! SEUMUR HIDUP AKU CINTA KAMU!” Pekik Arga. Nisya menghentikan langkahnya. Tubuhnya dibalikkan menghadap Arga. Tangisnya semakin deras. Rasa sesak semakin menyelubunginya. Kemudian dia berlari lagi dan memeluk Arga dengan erat.
“Jangan tinggalkan aku, apapun yang terjadi.” Nisya memohon perlahan
“Tidak akan pernah.” Janji Arga.

@-----------------@
By: R.A
Jangan lupa like and share ya?! Jangan lupa komen juga. See ya next time!

[1] Miley Cyrus, Stay.

Rabu, 15 Juni 2016

SEPOTONG CINTA Dan SEBINGKIS TIRAMISSU

Edit Posted by with No comments

“KAK MIA!!!!” Jerit Nia sekuat hati. Mia langsung saja menutup telinganya. Suara Nia benar-benar memekakkan telinganya.
“Ada apa sih? Kan bisa manggil baik-baik?” Marah Mia kepada adik perempuannya itu sambil mulai mengemas sisa bahan-bahan kue yang sudah tidak terpakai lagi.
“Malah marahin Nia. Dari tadi tuh, aku juga udah manggil Kakak. Kakak aja tuh yang budek. Kebanyakan ngayal sih jadi rada-rada budek.” Marah Nia balik sambil mengambil buah apel hijau dari kulkas.
“Iya deh Kakak yang salah. Jadi ngapain kamu manggil Kakak sampai terpaksa teriak-teriak gitu?” Tanya Mia kembali sambil memasukkan kue Tiramizzu kedalam kulkas.
“Mama udah manggil buat sarapan tuh. Bentar lagi kan masuk sekolah. Entar sakit. Semalem kan Kakak bela-belain begadang cuma buat kue itu doank.” Mia mulai melirik jam tangan putihnya. Sudah pukul 5:43. Gumam Mia kemudian mengangguk pada Nia tanda dia akan segera ke meja makan. Nia segera beranjak dari dapur ke meja makan. Mia naik ke kamarnya dan mengambil tasnya kemudian turun lagi menuju meja makan. Papa, Mama, dan Nia sudah berada di meja makan menikmati sarapan pagi itu.
“Pagi, Pa, Ma.” Mia mengecup kedua belah pipi kedua orang tuanya bergantian kemudian duduk disalah kursi di samping Nia.
“Pagi saying. Kamu mau makan yang mana?” Tanya Ibu Shofie, Mama Mia, sudah mengambilkan piring untuk anaknya itu.
“Mia mau makan roti aja, Ma.” Mia memberikan senyuman lembut menyambut piring dari tangan Mamanya. Mia mengambil roti dan mulai meratakannya dengan selai coklat kacang.
“Loh kok Cuma makan roti, sayang? Kan semalam kamu begadang? Entar sakit loh.” Ucap Mamanya prihatin.
“Nggak kok, Ma. Kan hari ini Mia bawa bekal. Ntar makan di sekolah aja. Lagian Mia mau cepat-cepat berangkat. Mau ngasih kuenya.” Papanya hanya menggeleng-geleng kepala mendengar penjelasan anaknya itu.
“Kamu masih aja ya suka sama anak laki-laki itu?” Tanya Papanya mulai angkat bicara. Mia hanya menunduk. Sudah siap mendengar ceramah Papanya. “Bukannya Papa nggak bolehin kamu pacaran. Anak Papa udah gede kok. Tapi, carilah yang tepat, yang benar-benar saying dengan Mia. Papa perhatikan, dia tidak suka dengan Mia. Mia juga sering menangis karena dia, kan?” Mia diam dan mulai meletakkan roti yang dikunyahnya sebentar tadi. Diambilnya gelas susu yang terletak disamping kanan tangannya dan mulai meneguknya hingga habis.
“Mia berangkat, Ma, Pa.” Ucapnya mengambil ranselnya dan pergi tanpa mendengarkan kata-kata apa-apa lagi dari orang tuanya. Papanya hanya menggeleng kepala melihat Mia yang masih tetap keras kepala.

@------------------#-----------------@

Pagi-pagi sekali, Mia sudah tercapak di depan kelas 2A IPA. Bingkisan kue Tiramissu dipangku dengan baik agar tidak terjatuh dan merusak hiasan kue itu. Mia memandang kue itu sekali lagi. Kue Tiramisu berbentuk hati yang di hiasi krim coklat berbentuk bunga mawar di sekeliling kue sedangkan buah strawberry senantiasa tertancap disela-sela krim berbentuk bunga mawar itu kemudian ditaburi dengan taburan coklat bubuk. Setiap sisi kue di tempeli dengan coklat batang yang telah di iris tipis. Benar-benar menggugah selera. 2 buah lilin dengan angka 1 dan 6 melambangkan usia si penerima kue itu sudah mencecah keangka 16 tahun. Mia tersenyum tipis. Tidak sia-sia dia bangun tengah malam hanya untuk membuat kue kesukaan cowok idamannya. Karena hasilnya memang sangat indah. ‘Tiramisu dan Arya. Memang sangat cocok. Sama-sama manis’. Getus hatinya.
            Suara cekikikan itu menyadarkan Mia. Mia langsung mendongakkan kepala mencari-cari sumber suara cekikikan itu. Matanya kemudian terpaut pada segerombolan siswa laki-laki dan seorang perempuan yang asyik memeluk lengan seorang siswa laki-laki bertubuh jangkung tegap yang sangat dikenalinya. ‘Nenek kegatelan itu lagi. Nggak habis-habisnya melukin Arya. Besok-besok gue gembokin juga tuh cewek biar nggak nempel mulu ama Arya.’ Rutuk Mia melihat Sonia asyik melekat dengan Arya 24 jam. Ingin saja rasanya dia pergi dari tempat itu. Bikin sakit mata dan hati saja melihat kemesraan mereka. Tapi mengingat dia sudah rela bangun tengah malam untuk membuat kue Tiramisu yang ada di pangkuannya, dia segera membatalkan niatnya itu. Mia berdiri dan segera mengatur lagkah kearah gerombolan itu.
“Arya” Sapa Mia memberanikan diri saat berada beberapa langkah didepan gerombolan itu. Mereka serta merta menghentikan langkah. Tatapan tajam dihadiahkan Arya saat melihat Mia. Rasanya ingin dia cekik gadis itu. Tidak henti-hentinya gadis itu mengganggunya sejak kelas satu dulu. Entah apa yang ada didalam otaknya sehingga terus menerus mengganggu hidupnya meskipun sering diperlakukan dengan kasar. Mia tersenyum tipis melihat ekspresi Arya yang begitu. Dia sudah biasa. Dia selalu menganggap tatapan itu sebagai tatapan cinta.
“Ciiieehh…Si princess ‘gentong’ udah dateng nih.” Celetuk Mike yang disusun derai tawa dari teman-temannya.
“Biasa….Masih mencoba nasib. Siapa tau pangeran kita ini berubah fikiran jadi jatuh cinta ama si gentong.” Timpal Agus. Derai tawa terdengar lagi memenuhi koridor sekolah itu. Mia hanya membiarkan. Arya sudah naik pitam dengan ledekan-ledekan teman-temannya.
“Gue…”
“Eh, gentong!” Bentak Sonia memotong ucapan Mia yang belum selesai bagai siap berperang. “Lo tuh nggak tuntas-tuntas ya ngeganggu hidup Arya? Lo bener-bener nggak tau malu banget. Lo fikir, dengan lo ngejer-ngejer Arya, Arya bakalan berubah cinta ama lo gitu? Woi…sadar donk! Arya mana mungkin jatuh cinta ama badak air kaya’ lo!” Dorong Sonia kasar membuat Mia hampir terjatuh. Mia merasa marah. Dorongan Sonia hampir membuatnya terjatuh. Kalau saja dia terjatuh, entah bagaimana nasib kue Tiramisu yang dibawanya. Untung dia tidak jatuh. Kalau jatuh, siap saja Sonia jadi sate cincang Mia.
“Lah…gue kan nggak ngeganggu lo. Kenapa lo yang kebakaran jenggot?” Balas Mia tidak peduli. Sonia yang mendengar jawaban Mia itu langsung naik darah. Baru saja Sonia melangkah hendak menampar Mia, Arya langsung menarik tangannya menghentikan tindakannya. “Arya, ini Tiramisu buatan gue buat lo. Happy birthday, ya. Gue do’a moga lo dapet yang lo mau.” Ucap Mia manis mengulurkan Kue Tiramisu buatannya kepada Arya.
            Arya maju beberapa langkah mendekati Mia. Namun tetap tidak menunjukkn reaksi dia akan mengambil kue yang diulurkan Mia.
“Lo tau apa yang gue pengen di hari ulang tahun gue?” Mia menggeleng polos. “Gue pengen lo hilang dari pandagan gue. Gue mau lo pergi jauh dari gue dan berhenti ganggu hidup gue. Dan kue ini.” Arya merampas kue Tiramisu itu dari tangan Mia. “Gue benci Tiramisu buatan lo!” Arya langsung membanting kue itu di lantai. Mia terkejut dengan tindakan Arya.
            Suara piring yang melapisi kue itu pecah. Retak seretak hatinya saat itu. Dia tidak pernah berfikir bahwa Arya akan melakukan semua itu. Air mata Mia tumpah. Namun tiada isak dalam tangisnya. Dia masih kaget dengan tindakan Arya barusan. Mia tetap berdiri mematung memandang kue Tiramisu yang sudh berserakan tanpa bentuk dilantai.
“Denger, ya. Gue nggak cinta dan nggak bakalan pernah cinta ama lo. GUE BENCI AMA LO!” Pekik Arya mengungkapkan isi hatinya. Air mata Mia semakin deras. Hatinya begitu hancur. Lebih hancur dari sebelumnya.
PLAAAKKK!!!!
            Sebuah tamparan mendarat berkali-kali di pipi putih Arya. Arya memandang siapa yang telah berani menamparnya Bukan Mia. Tapi Amira, sahabat Mia yang telah berada tepat didepannya. Mia hanya mematungkan diri membiarkan air matanya tumpah.
“Elo bener-bener keterlaluan, Arya. Selama ini gue diem ngeliat lo nyakitin Mia. Tapi kali ini lo bener-bener kelewatan. Lo fikir Mia patung yang bisa lo sakitin gitu aja? Dia juga manusia. Dia punya hati. Dia udah tulus cinta ama lo. Tapi apa yang lo lakuin ama dia? Lo terus-terusan sakitin dia. Dia udah rela capek-capek tengah malem bangun cuma buat bikinin kue kesukaan lo karena dia inget ulang tahun lo. Tapi lo dengan tidak berperasaan ngebanting kue buatannya gitu aja. Lo bener-bener nggak tau terima kasih, Arya. Muka lo aja yang ganteng. Tapi sifat lo bener-bener ngejijiin.” Marah Amira meluap-luap. Arya terdiam. Dirasakan hati dan wajahnya kian memanas. Panas karena menahan malu.
            Amira menarik tangan Mia. Tapi Mia tetap mematungkan diri tidak memberi reaksi apapun.
“ELO NGGAK BODOH, MIA!!!” Pekik Amira. Amira menarik tangan Mia semakin kasar. Kesal rasanya melihat Mia hanya mendiamkan diri saat orang lain menyakitinya. Mia hanya mengikuti arah langkah kaki Amira. Amira membawanya kearah taman belakang sekolah. Mereka kemudian duduk di tempat yang lebih sepi. Amira mendengus kesal karena Mia masih diam mematungkan diri dengan air matanya yang masih menggenang.
“Lo nggak seharusnya diem kaya’ tadi. Gue paham lo sayang banget ama Arya. Tapi lo juga nggak bisa biarin dia terus-terusan nyakitin lo.” Marah Amira lagi.
“Gue nggak tau apa yang salah ama diri gue. Kenapa dia benci banget ama gue? Salahkah kalau orang gendut kaya’ gue suka ama cowok ganteng kaya’ dia? Apa orang gendut kaya’ gue nggak pantes jatuh cinta? Betapa butanya hati manusia hanya gara-gara kekurangan fisik mampu membuat mereka menjadi sombong dan tidak menghargai.” Ungkap Mia penuh sayu.
“Lo nggak kekurangan fisik. Tapi lo kelebihan fisik.” Balas Amira bercanda berharap Mia akan menghentikan tangisannya. Dia tidak mau sahabatnya itu terus menerus menyalahkan nasibnya. Mia tertawa pelan mendengarkan candaan itu.
“Lo emang nggak pernah bisa serius. Gue lagi dapet feel, lo dengan seenak badak bikin candaan.” Gerutu Mia memanyunkan bibir.
“Hey…kenapa lo mesti nangis? Gue nggak suka ngeliat lo nangis. Apalagi nangisin orang nggak tau terimakasih kaya’ dia. Lo nangis darah pun sekarang ini, gue jamin dia tetep nggak bakalan peduli. Jadi kenapa lo mesti nguras tenaga buat nangisin dia?” Mia mengangguk pelan dan tersenyum tipis. Air matanya segera dikesat.
@------------------#-----------------@
            Sudah hampir sebulan Mia mendiamkan diri dari Arya. Dia tidak pernah mencoba untuk menemui Arya. Dia sengaja menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan ekskul sekolah dan lebih giat belajar. Hari-harinya dipenuhi dengan berbagai kegiatan terlebih kegiatan belajar bersama dengan teman-temannya. Dia benar-benar telah mengambil keputusan untuk tidak mengganggu laki-laki itu lagi. Dia juga sudah bertekad tidak mau menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tidak berguna seperti dulu. Setidaknya sampai akhir semester ini. Maka semuanya akan berakhir.
            Mia benar-benar bersungguh-sungguh dalam usahanya. Dengan sedaya upaya dia mencoba agar tidak bertemu dengan laki-laki itu. Bahkan dia membawa bekal makan siang agar bisa dimakan dimana saja dan tidak perlu ke kantin. Alasannya sudah jelas, dia tidak ingin bertemu dengan laki-laki itu lagi. Selain itu, dia juga berusaha untuk menurunkan berat badannya. Makanannya diganti dengan sayur-sayuran dan buah-buahan. Ditinggalkannya makanan berat yang dirasanya menjadi pemicu utama kenaikan berat badannya.
            Sesekali Mia memang bertemu secara tidak sengaja. Tapi jika itu terjadi, Mia akan berusaha mengalihkan perhatiannya. Berpura-pura tidak melihat Arya.
            Sedangkan Arya, sejak kejadian itu dia tau bahwa Mia mencoba untuk menghindarinya. Pada minggu pertama, dia merasa benar-benar lega dan tenang karena tidak ada lagi si badak air yang mengganggunya seperti biasa. Tapi entah mengapa, semakin hari dia merasa tidak nyaman. Dia tidak nyaman dengan situasi itu. Terasa terlalu sepi. Entah mengapa, dia merasa bahwa dia merindukan kehadiran gadis itu. Dia rindu gelak tawanya. Dia rindu dengan sikap acuh tak acuhnya apabila di bentak. Dia rindu bekal makan siang yang selalu dibawa gadis itu untuknya. Dia rindu semuanya. Terkadang rasa menyesal itu seringkali menghinggapinya. Menyesal karena telah bersikap kasar terhadap gadis itu.
            Arya ingin minta maaf. Tapi dia sendiri buntu bagaimana caranya agar bisa minta maaf sementara Mia masih acuh tak acuh kepadanya. Gadis itu terus menerus berpura-pura tidak memperdulikan kehadirannya. Bahkan pernah dia nekad menemui gadis itu didalam kelas. Tapi Mia malah langsung pergi meninggalkannya.  Sampai pada suatu hari untuk kesekian kalinya, dia mencoba untuk menemui Mia lagi.
            Hari itu bel tanda istirahat telah berbunyi. Arya langsung saja berlari keluar kelas. Dia nekad akan menemui Mia. Dia benar-benar merasa bersalah dan dia perlu minta maaf pada gadis itu secepatnya. Entah mengapa dia merasa sudah tidak punya banyak waktu lagi.
            Arya mengatur langkahnya setelah berada di ambang pintu kelas Mia, kelas 2 IPS-A. Suara deru nafasnya yang terengah-engah memecah kesunyian kelas yang nyaris kosong itu. Mungkin siswa kelas itu sudah pergi ke kantin mengisi perut. Dia melihat Mia duduk di bangku paling pojok kelas sambil memandang kosong pada ruangan kelas sambil menyandarkan tubuh pada tembok kelas. Tidak ada lagi keceriaan pada wajah tembam putih itu.
“Khmmm….” Arya berdehem pelan saat jarak mereka sudah semakin dekat. Mia mengalihkan pandangan mencari sumber suara deheman tersebut. Mia hanya melihat sekilas pada Arya kemudian kembali pada pandangannya semuala dengan tetap menunjukkan ekspresinya datar seolah-olah tidak berminat dengan kehadiran Arya. Tapi hatinya hanya Tuhan yang tau betapa dia merasa sangat tergetar. “Gue boleh duduk disini?” Tanya Arya menunjuk kursi yang berada tepat didepan meja Mia. Mia masih terdiam. Arya kemudian memutuskan untuk duduk  di bangku depan Mia. Mia menghela nafas pelan sebagai tanda protes. Arya pura-pura tidak melihat tatapan tajam Mia. Mereka terdiam. Sementara itu Arya mencoba untuk mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. “Mia….. Gue mau minta maaf ama lo.” Sunyi. Tidak ada sahutan. “Gue udah buat banyak salah ama lo.”
“Nggak ada yang perlu di maafin. Gue yang salah udah ganggu lo selama ini.”
“Mia, please jangan bilang gitu. Gue…” Kalimatnya terputus. Entah mengapa kalimatnya terasa tercegat di tenggorokan. Ingin saja dia meluahkan apa yang terkunci di hatinya. Tapi dia tau itu tidak mungkin. Kemudian dia merogoh kantong celananya dan menyerahkan sebuah tiket bioskop film favourite Mia. “Gue tunggu jam tujuh entar malem.” Ucapnya mletakkan ticket bioskop itu diatas meja kemudian pergi meninggalkan Mia yang masih memandang sepi pada ticket bioskop tersebut tanpa berniat mengambilnya.
@------------------#-----------------@
“Lo beneran mau pindah sekolah? Lo beneran mau ngerelain perasaan lo dan lupain dia?” Pertanyaan Amira hanya Mia biarkan berlalu bersama angin sore itu. Entah harus menjawab apa. Dia sendiri tidak yakin akan keputusannya. Apakah dia akan mampu menghadapi semuanya? Akahkah dia mampu menahan gejolak rindu dihatinya setelah dia pergi meninggalkan tempat dimana cintanya telah terpaut dan bersemi? Dia sendiri tidak tau. Mia hanya menghela nafas berat untuk menjawab pertanyaan itu.
            Mia melayangkan pandangannya pada hamparan laut didepannya. Nuansa biru pada laut itu begitu menenangkan. Angin yang bertiup sepoi menerbang-nerbangkan helaian rambut panjangnya. ‘Mengapa tidak pergi saja perasaan ini bersama tiupan angin? Agar aku tidak merasakan beban yang sama setiap hari selama hampir 2 tahun ini. Dan yang terpenting, dia tidak perlu pergi meninggalkan kota ini hanya untuk menghilangkan perasaan menyakitkan ini.’ Rutuknya dalam hati. Mia memejamkan kedua belah matanya. Mencoba menikmati irama deburan ombak pantai.
“Mia!” Panggil Amira sekali lagi sambil menepuk pelan paha Mia menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
“Entahlah, Am. Gue juga nggak yakin. Gue nggak yakin apakah ini keputusan yang tepat buat gue. Gue juga nggak yakin apakah gue bisa ngelewatin ini semua, ngejalanin hari-hari gue tanpa dia. Tapi gue masih bisa nyoba. Mungkin bakalan sakit. Tapi gue bakalan lebih sakit lagi kalau gue ada disini. Semakin banyak dosa gue udah bikin dia sakit hati karena sikap gue yang selalu ngeganggu hidup dia. Kalo’ gue pergi, setidaknya sakit gue karena rindu. Tidak ditambah lagi dengan sikapnya yang tiap kali nolak gue dengan kasar. Toh juga cinta nggak harus memiliki. Gue harap ini pilihan terbaik buat gue. Gue yakin, Allah udah nyiapin yang terbaik buat gue.” Terang  Mia panjang lebar. Sebenarnya, kalimat itu adalah kalimat untuk dirinya sendiri agar bisa membujuk perasaannya yang semakin terluka. Dia berharap luka itu akan segera sembuh setelah dia pergi. Meskipun dia tau harapan itu cuma ‘hopeless’. Tapi tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini kan? Mia tersenyum tipis. Entah apa arti senyumannya kali ini. Dia sendiri tidak tau.
“Gue cuma bisa do’a yang terbaik buat lo. Semoga ini keputusan yang terbaik.” Mia tersenym tipis.
“Setelah semester ini berakhir, gue harap gue bisa ninggalin dan kuburin perasaan ini disini. Gue harap nggak ada lagi perasaan sakit yang gue bawa pergi.” Ucap Mia pada dirinya sendiri. Mencoba menahan rasa sakit dihatinya.
@------------------#-----------------@
07.55 pm.
            Arya mengeluh saat melihat angka yang terpampang dilayar jam tangan hitamnya. Kakinya tidak berhenti mondar-mandir di ruang tunggu bioskop. Film sudah hampir dimulai. Panggilan yang terdengar dari speaker untuk menyuruh pemilik ticket untuk masuk sudah bergema untuk kesekian kalinya. Sudah satu jam lebih dia menunggu Mia. Tapi gadis itu tidak memberikan tanda-tanda bahwa dia akan muncul. Dia menyesal tidak pernah menyimpan nomor handhpone Mia. Sekarang dia yang merasa susah tidak dapat menghubungi gadis itu.
            Arya kemudian duduk diatas sofa di ruang tunggu itu. Matanya hanya menatap kearah pintu masuk berharap Mia akan segera datang. Namun yang dilihatnya bukan Mia, melainkan Amira dan Sonia. Kedua gadis itu berjalan semakin mendekat kearahnya. Arya mengerutkan dahi tanda bertanya kepada Amira tentang keberadaan Sonia.
“Hi, Sayang!” Sapa Sonia mulai memeluk lengan Arya namun segera ditepis. Sonia memanyunkan mulut dan kemudian memeluk tubuh.
“Mir, ini kok ada Sonia? Mia mana?” Tanya Arya meminta penjelasan.
“Ini titipan buat lo.” Amira menyerahkan sebuah surat bersampul biru kepada Arya. Arya mulai membuka surat tersebut dan membaca isinya.
Dear, Arya
Pertama-tama gue mau minta maaf ama lo. Gue nggak bisa dateng nonton bareng lo. Tapi gue udah minta Sonia gantiin gue. Gue ngerasa kurang pantes kalau harus pergi nonton bareng lo. Apa kata temen-temen lo nanti kalau gue pergi jalan bareng lo?
Well, saat lo baca surat ini, gue udah nggak ada. Gue udah pergi jauh dari lo. Yahhh….gue pindah. Gue cuma mau bilang maaf ama lo. Y ague juga sadar nggak ada kata-kata lain yang pas buat gue ucapin ke elo selain maaf. Selama ini gue udah banyak nyusahin hidup lo. Gue sering ngejar-ngejar lo sampai temen-temen lo ngeledikin lo. Gue emang malu-maluin banget. Sorry buat itu semua. Tolong maafin gue biar gue bisa hidup tenang ditempat baru gue.
Terakhir yang gue harapin, moga elo baik-baik aja. Moga lo bahagia dimanapun elo berada.
Salam sayang,
Mia.
            Arya meremas surat itu. Dia pergi meninggalkan kedua-dua gadis itu tanpa sepatah katapun. Sementari Sonia terus memanggilnya tapi tetap tidak digubris. Dibuangnya surat Mia yang dibacanya tadi dan membuangnya ke tong sampah. Untuk pertama kalinya hatinya terasa begitu sakit. Air matanya mulai bergenang perlahan di tubir matanya.           
@------------------#-----------------@

Mia berjalan dengan santai di pelataran mall. Matanya melilau ke kiri dan ke kanan. Mencari sesosok tubuh yang menunggunya entah dibagian mana dari mall itu. Diliriknya Hp yang senantiasa tergenggam ditangannya.Ia mengeluh perlahan. Hpnya mati. Untuk kesekian kalinya, dia selalu lupa mengecas Hp nya. Ini karena kebiasaannya yang selalu mematikan Hp pada tanggal special ini karena tidak ingin di ganggu. Ini pertama kalinya dia keluar rumah pada tanggal 6 oktober setelah 8 tahun mengurung diri. Dia memang selalu mengurung diri pada pada tanggal 6 oktober di rumahnya bertemankan laptop kesayangan, sebuah kue tiramisu berbentuk hati lengkap dengan lilin, dan sebuah diary merah kesayangannya. Hingga wajar saja jika dia kali ini lupa mengecas Hpnya walaupun sudah berulang kali diingatkan.
            Setelah lama berputar-putar, Mia akhirnya merasa bosan. Dia kemudian memutuskan untuk duduk di samping kolam ikan mas yang mengitari lift yang terletak di tengah-tengah mall itu. Matanya asyik memperhatikan sekelilingnya. Matanya kemudian terhenti pada sebuah toko roti. Dia dapat melihat dengan jelas jejeran kue-kue yang terpajang di etalase toko. Mia tersenyum kecil kemudian bangun dan menggerakkan kakinya kearah toko roti tersebut.
            Baru saja Mia melangkah memasuki area toko , seketika itu aroma roti dan kue terasa manis memenuhi ruangan begitu menusuk di hidung. Mia menghirup aroma itu dalam-dalam. Benar-benar aroma yang menggiurkan. Mia melangkahkan kakinya menyusuri jejeran etalase yang di penuhi oleh berbagai jenis kue dan roti. Ada cupcake, chocolate mousse, bolu, roti prancis, roti wina, roti italia, dan…….. ‘Tiramisu!’. Jerit hati Mia.
            Mia menghentikan langkahnya tepat didepan jejeran kue Tiramisu. Matanya ligat memperhatikan kue-kue Tiramisu yang tersusun rapi sesuai denga bentuk dan ukurannya di dalam etalase yang berada di bagian paling pojok ruangan. Dia tertarik dengan sebuah Tiramisu berukuran standar dengan bentuk lingkarang yang dihiasi dengan krim coklat berbentuk mawar dan ditaburi coklat bubuk. Mia tersenyum tipis dan mengulurkan tangannya untuk mengambil kue Tiramisu. Tapi kemudian tindakannya di hentikan. Untuk apa dia membeli kue Tiramisu itu? Dia bahkan tidak menyukai Tiramisu. Ya, dia tidak suka memakan Tiramisu. Dia hanya suka memandangnya dan membelinya untuk perayaan ulang tahun Jimmy, hari ini. Tapi…. Dia juga sadar. Semua itu sia-sia. Kue yang dibuatnya tadi malam pun bahkan tidak dijamahnya sama sekali. Hanya dibiarkan begitu saja dimakan oleh adik-adik dan keluarganya setelah dia selesai memotong-motongnya dan di masukkan kedalam kulkas. ‘Jimmy bahkan tidak pernah tau. Bahkan mungkin tidak pernah peduli’. Rutuknya sedih dalam hati. Mia menghembuskan nafas kesal.
            Dia kemudian berdiri tegak dan membalikkan tubuhnya. Bersiap-siap untuk pergi meninggalkan toko roti tersebut. Namun baru saja dia melangkahkan kakiknya, badannya terasa terpantul dan membuatnya mengundurkan langkah karena menabrak sebuah tubuh yang berdiri tegak tepat dibelakangnya.
“Maaf, saya tidak sengaja.” Ucap Mia sopan sambil menundukkan sedikit kepalanya tanpa memandang wajah oarng yang berada di depannya. Tiada respon. Mia yang hanya menunduk memerhatikan sepasang sepatu yang terpasang dikaki orang yang ditabraknya itu. Dari sepatunya, dia yakin orang yang di depannya adalah seorang laki-laki. Tapi kaki laki-laki itu tidak bergerak sama sekali. Karena merasa tidak ada respon, Mia berniat untuk pergi meninggalkan tempat itu untuk memberi ruang bagi laki-laki itu yang mungkin juga ingin membeli kue Tiramisu karena dia juga berada di depan barisan kue Tiramisu.
“Mia.” Panggil suara didepannya. Mia mengangkat kepala untuk melihat siapa laki-laki yang menyebut namanya ini. Mia kemudian terdiam. Mata mereka bertaut satu sama lain. Membiarkan setiap pancaran mata dan kerutan di kening berbicara. “Mia Qaishara, ini kamu?” Laki-laki di depannya bertanya untuk memastikan. Mia terdiam. Mencoba memproses apa yang sedang terjadi. Menggali informasi dari otaknya untuk mengingat siapa laki-laki di depannya sekarang ini. Wajah yang putih, dagu yang runcing, mata hitam tenang, bibir kecil tipis berwarna merah, poni acak menutupi dahi dan tubuh jangkung. Kemudian seketika itu, potongan-potongan kenangan itu kembali lagi. Kenangan 8 tahun lalu, saat dia menangis di pondok kecil karena terpisah dari rombongan camping, suara tawanya karena suratnya dibaca, suara ledekan, cacian, makian, dan terakhir suara piring berisikan Tiramisu yang terhempas di lantai. Mia merasakan hatinya terasa begitu sakit seketika. Seperti teriris-iris. Mia sendu. Air matanya tergenang kemudian pecah di kedua belah pipinya yang putih.
            Laki-laki di depannya kemudian memeluknya dengan erat. Laki-laki itu menangis terharu. Melepaskan rindu dan berton-ton beban yang terasa berat dihatinya. Beban cinta dan rindu yang selama ini terbawa bersama hati seorang gadis yang pernah dihancurkannya.
“Mia, gue kangen banget ama lo. Lo kemana aja selama ini? Gue udah lelah nyariin lo kemana-mana. Kenapa lo pergi gitu aja ninggalin gue? Kenapa? Lo bahkan nggak ngasih gue kesempatan buat bilang kalo’ gue juga sayang ama lo. Lo nggak ngizinin gue tau keberadaan lo. Lo tinggalin gue gitu aja. Kenapa lo mesti ngehindarin gue dan nggak ngebiarin siapapun ngasih tau keberadaan lo? Lo tau, gue kangen banget ama lo. Sejak lo pindah sekolah, gue ngerasa bener-bener kesepian. Gue ngerasa kehilangan lo. Gue sayang ama lo.” Ungkap laki-laki di depannya. Mia tidak bereaksi. Dia hanya membiarkan air matanya mengalir deras.
            Ingin rasanya dia mengatakan bahwa dia juga sangat merindui laki-laki ini. Dia juga sangat mencintainya. Bahkan rasa cintanya sekarang jauh lebih besar dibandingkan dulu. Tapi apa dia harus mengatakan semua itu juga? Itu tidak mungkin. Semuanya sudah terlalu terlambat.
            Laki-laki itu melepaskan pelukannnya. Dia kemudian mengusap lembut kedua belah pipi Mia. Diusapnya air mata mia dengan kedua ibu jarinya.
“Mia, gue minta maaf atas kejadian yang dulu itu. Gue sadar, gue udah banyak salah ama lo. Gue terlalu egois dan gengsi ngakuin perasaan gue ke elo. Tapi please, gimme one more chance. Gue nggak bakalan sia-siain lo lagi. Gue bakalan perbaikin semuanya.” Janjinya penuh yakin.
            Mia menelan ludah yang terasa tersekat di tenggorokan. Ditariknya tangan laki-laki itu menjauhi pipinya. Mia menggenggam tangannya lembut. Air matanya masih mengalir deras.
“I’m so …sorry.” Mia memandang tepat kearah mata laki-laki itu. “But I can’t.” Jawab Mia dengan suaranya yang semakin serak. Air matanya semakin deras. Laki-laki itu memandangnya penuh dengan rasa tidak mengerti.
“But why?” Desak laki-laki itu penuh dengan rasa cemas.
“It’s too late. Everything has change, Arya.” Balas Mia.
“Maksud…lo?’’ Tanya Arya ragu. Ragu tentang apa yang akan di dengarnya. Ragu akan perasaannya. Bisakah dia menerima segala kemungkinan buruk?
“Gue…”
“Mia!!!” Panggil sebuah suara memotong kalimat Mia. Mia menoleh kearah sumber suara. Irsyad yang baru masuk kedalam toko roti itu melambaikan tangannya dan berjalan santai kearah Mia. Mia segera melepaskan genggamannya pada tangan Arya dan mengesat air matanya. “Hai, sayang. Kamu kemana saja?” Tanya Irsyad saat sudah hampir mendekati Mia. “Aku dari tadi udah nungguin kamu di….hey, kamu kenapa? Matamu sembab?” Tanya Irsyad tidak melanjutkan kalimatnya saat melihat mata Mia yang sudah sembab.
“Aku nggak apa-apa. Cuma terharu ketemu temen lama.” Jawab Mia berbohong sambil menunjukkan jarinya kearah Arya. Iryad langsung menoleh kearah laki-laki yang di tunjuk oleh Mia.
“Ini temanmu?” Tanya Irsyad sambil tangannya menuding kearah Arya.
“Eh ya….Kenalin, ini Arya, sahabat lamaku. Arya, ini Irsyad, calon suamiku.” Ujar Mia memperkenalkan mereka berdua. Kedua laki-laki itu saling berjabat tangan.

“Oh jadi kamu sahabat Mia? Kalo’ gitu, kamu mesti dateng ke acara pernikahan kami minggu depan. Mia pasti senang kamu dateng.” Undang Irsyad sambil mengusap rambut Mia. Arya yang mendengar perkataan Irsyad tersentap kaget. Minggu depan? Kenapa secepat itu? Rutuk Arya dalam hati. Arya tersenyum tipis dan mengangguk. Tapi sakit di hati hanya Tuhan yang tau. Mia dengan sedaya upaya mengukir senyum. Tapi hambar. Dia tau Arya sedih. Tapi hatinya juga lebih sedih. ‘It’s too late’. Rutuk Mia dalam hati. “Oh ya. Kami pergi dulu ya? Kami mau nyari gaun pengantin. Jangan lupa dateng ya?” Sekali lagi Arya mengangguk pelan dan menghadiahi mereka berdua sebuah senyuman. Irsyad kemudian merangkul Mia untuk segera pergi dari toko roti itu. Arya masih terdiam kaku. Hanya bisa memandang tubuh gadis yang disayanginya dirangkul dan semakin jauh meninggalkannya. Mia menoleh ke belakang menatap Arya dan memberikan senyuman tipis sambil terus meninggalkan Arya. Arya tak mampu memberikan reaksi apa-apa atas senyuman itu. Apakah itu sebuah senyuman perpisahan, atau senyuman kemenangan karena telah menghancurkan hatinya. Tapi apa yang pasti, hatinya sakit dan pilu.Mia dan Irsyad semakin jauh. Kemudian menghilang di balik pintu toko dan kerumunan pengunjung yang berlalu lalang.
@---------@
Jangan lupa komen ya?! Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan!! See yaa...!!
BY: R.A