Kamis, 03 April 2014

Kau Tetap Ibuku

Edit Posted by with No comments
Kau Tetap Ibuku

                Jam dinding di ruang tamu sudah berdenting, tanda jam sudah menunjukkan pukul 12.00 malam. Aku masih duduk santai di ruang tamu sambil meminum coklat panas dan menonton TV, menunggu suamiku yang belum juga pulang kantor. Aku tak gelisah, karena suamiku sudah mengirim sms bahwa dia akan pulang telat malam ini. “Ada meeting” katanya. Aku memang sengaja menunggunya karena aku memang tidak bisa tidur malam ini. Entahlah…!!!
                Tiba-tiba pandanganku teralih saat kulihat bayangan gadis kecil dengan baju tidur dan masih memeluk boneka beruang putih berjalan dari arah pintu ruang keluarga, menghampiriku. Salsha, namanya. Putri tunggalku yang baru menginjakkan bangku kelas 3 SD.
“Kok belum tidur,sayang?” tanyaku sambil membelai rambut sepunggungnya setelah duduk didekatku.
“nggak bisa tidur, Bunda…!!!” ujarnya sambil mengucek matanya.
“hmmm…besok kan salsha pergi sekolah…!!! Gimana kalo Bunda dongengin?” Tawarku. Tapi dia justru menggeleng.
“Salsha mau minum susu, Bunda…!!” Ujarnya manja.
“Ya udah…Bunda buatin susu. Tapi salsha harus tidur ya setelah itu…?” ujarku sambil mencolek hidungnya dan berlalu meninggalkannya ke dapur dan membuatkannya susu coklat kesukaannya. Setelah membuat susu coklat, aku langsung menuju ke ruang keluarga. Namun tak ku temukan dia disana. Aku langsung pergi ke kamarnya. Pintu kamarnya sedikit terbuka. Kulihat disela-sela pintu, salsha sedang membaca buku dongeng yang di belikan oleh Rina, adik tiriku, tadi siang saat berkunjung.
                Kumasuk kedalam kamarnya dan meletakkan susu coklat itu diatas meja belajar salsha. Kubelai rambutnya perlahan sambil menatapnya penuh bangga.
“Bunda….!!” Panggilnya tiba-tiba.
“Ya, sayang..??” Tanyaku heran.
“Apakah ibu tiri itu jahat??” tanyanya menatapku.
“Mengapa salsha tiba-tiba Tanya begitu??” Tanyaku heran karena salsha tidak pernah bertanya tentang hal-hal seperti itu sebelumnya.
“Temen-temen salsha di sekolah bilang begitu. Di buku dongeng yang di beliinsama tante Rina juga bilang begitu..!!” Ucapnya polos. AAku tersenyum mendengar penuturannya. Kubelai sekali lagi rambutnya dan mulai berkata-kta lagi.
“Di dunia ini, tidak ada ibu yang jahat, sayang. Semua ibu pasti sangat sayang terhadap anak-anaknya. Termasuk ibu tiri.” Ku hela nafas panjang dan mulai melanjutkan penjelasanku. “ Tidak ada ibu tiri di dunia ini. Semuanya sama. Kalo ada ibu yang memukul anaknya, itu pasti karena anak-anaknya nakal. Kalo gak nakal pasti tidak akan di pukul. Hmm…!!!” Ujarku kemudian mencolek hidungnya “ Sekarang, salsha minum susu, terus bobo ya sayang?” Lanjutku dan menyodorkan susu coklat kesukaannya. Salsha pun meminumnya dan kuletakkan gelas itu kembali setelah dia selsai. Dia kemudian berbaring dan mulai memejamkan mata. Kubelai rambutnya dengan tulus. Tiba-tiba sekelebat bayangan kembali muncul di ingatanku. Ada segores luka yang sangat mendalam membekas di hatiku. Kurasakan begitu sakit hingga sekarang. Dadaku mulai terasa sesak. Sangat sesak hingga tak kurasakan air mata mengalis dipipiku. Fikiranku melayang. Kembali pada kenangan 20 tahun yang lalu. Dimana aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA.
                Malam itu hujan turun deras. Sangat deras hingga ku rasakan dingin menusuk di setiap persendian tubuhku. Angin juga berhembus cukup kencang menimbulkan suara decitan pada jendela reot kamarku. Suara tetesan air hujan pada lantai akibat atap kamar yang bocor benar-benar mengganggu konsentrasi belajarku. Semakin lama semakin berisik kurasakan. “Menyebalkan…!!!” Rutukku menghantam meja belajarku.
                Ku langkahkan kakiku menuju ruang makan yang terdapat di dalam dapur. Ku lihat adik tiriku sedang menikmati makan malam sambil sesekali memainkan sendoknya memukul piring. Sementara ibu tiriku terlihat sedang membuat teh hangat untukku. Dia memang tau kebiasaanku sebelum makan malam yaitu minum teh hangat. Aku duduk disalah satu bangku di meja makan. Kuperhatikan lauk makan malam itu yang sudah tersedia diatas meja makan. Hanya tahu, tempe dan telur dadar serta sambal tomat. Seperti malam-malam yang kemarin. Sudah 4 hari ini menu makan ini selalu di ulang-ulang dari pagi sampai makan malam. Tak ada yang lain. Aku agak kesal.
                Rina, adik tiriku yang sejak tadi memainkan sendok makannya terdengar semakin berisik. Ku tahan emosiku dan menegurnya dengan suara terpaksa dilembutkan.
“ Adikku sayang, bisakah kau makan lebih tenang??Agar aku bisa mendapatkan inspirasi???” Rina yang waktu itu baru duduk di bangku SD kelas 1 tidak peduli mendengarku. Aku semakin jengkel dan lepas kontrol. “ RINA, DIAAAMMMM….!!!” Bentakku dengan keras sambil memeukul meja. Rina terkejut dan menangis.
“ Ibu……ibu….!!!” Raungnya kemudian berlari kearah ibu tiriku. Iu tiriku mencoba untuk menenangkannya. Digendongmya Rina agar bisa lebih tenang.
“ Jangan terlalu kasar pada adikmu…!”  Tegurnya padaku dengan nada lembut. Namun bagiku itu hanya sebatas kepura-puraan. Kuputar bola mataku yang menandakan aku bosan mendengar ucapannya. Dia kemudian duduk disalah satu bangku di meja makan tepat didepanku. Didudukkannya pun Rina didekatnya.
                Kami mulai makan malam itu. Diam. Begitulah suasana makan malam itu. Yang terdengar hanya suara rintik hujan yang sangat berisik jatuh diatas atap seng rumahku. Sesekali terdengar decitan dari jendela kamarku yang tertiup angin. Namun suasana di meja makan sangat hening malam itu. Akupun mulai pembicaraan.
“ seminggu lagi aku ada pertandingan basket terakhir antar sekolah. Sepatuku sudah rusak. Aku ingin sepatu basket.” Ucapku ketus sambil menyendok nasiku.
“ Tiara….Ibu belum ada uang. Hasil jualan kue ibu sangat sedikit. Pelanggan ibu sekarang semakin sedikit. Untuk makan pun kamu liat sendiri keadaannya.”
“Alaaaahhhh……bilang saja kalau Kamu emang gak niat mau beliin aku. Selama ini kan aku gak pernah minta apa-apa sama kamu. Uang jajanpun aku gak pernah minta. Masa’ baru minta sekali aja kamu gak mau ngasih!!!” Ucapku lantang.
“ Ibu benar-benar tidak punya uang, Tiara..” Ucapnya masih lembut.
“ Gak usah pura-pura deh….Kamu itu emang gak pernah peduli sama aku. Aku tau, aku hanya anak tiri kamu. “
“Tiara….!!!”
“ Sejak papa meninggal, aku jadi melarat. Dan itu gara-gara kamu. Kalau saja kamu hati-hati saat masak, pasti rumah Ku gak bakalan kebakaran, dan papa gak akan meninggal gara-gara nolong Rina dikamar. Aku benci kamu…!!!” Bentakku memelototinya. Ibu tiriku hanya diam. “ Dan yang paling aku benci adalah kamu merebut papa dari mamaku….dan akhirnya mama meninggal gara-gara stress ditinggal papa. Semua itu gara-gara kamu…!!!” teriakku.
                Plaaaakkk….!!! Satu tamparan keras mendarat dipipiku. Aku terdiam. Kupelototi ibu tiriku. Ini pertama kalinya dia menamparku.
“ KAUUUUUUUU….!!!!” Teriakku setengah tidak percaya.
“Tiara….maafin ibu, nak…ibu tidak sengaja…!!”  Dia memelas.
“ AKU BENCI KAMU. ….!!! Kamu emang gak pernah sayang sama aku!! Dan kamu gak akan pernah bisa gantiin posisi mama …!!!” Pekikku dan berlari keluar.
                Hujan masih sangat deras. Namun aku tetap berlari. Ibu tiriku ikut berlari berusaha mengejarku. Kudengar raungannya memanggilku dan meminta maaf. Namun aku tetap peduli. Aku berlari kearah Sebuah lapangan basket tempat aku biasa latihan basket bersama Ray, pacarku. Kulihat bola basket yang tergeletak di tengah-tengah lapangan. Kuambil dan kulempar kearah ring. Kumainkan bola itu dengan cepat. Terus bermain mencoba menghilangkan rasa amarahku hingga kurasakan capek yang membuatku terjatuh ditengah-tengah lapangan. Aku menunduk. Kubiarkan air hujan mengaliri tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingin berteriak. Namun Kurasakan suaraku tak dapat keluar.
                Tiba-tiba, kulihat sepasang kaki dihadapanku. Ku dongakkan kepalaku. Kutemukan Rey berdiri tersenyum dengan membawa paying ditangannya. Dia kemudian duduk dihadapanku.
“ Mengapa hujan-hujan begini kamu masih main basket?” Tanyanya kepadaku sambiltersenyum. Dihapusnya air mataku “ Nanti sakit. Ayo pulang..!!” Ajaknya menggenggam tanganku Kupalingkan wajahku dan menggeleng pelan. “ Ada masalah dengan ibumu lagi?”
“ Dia bukan ibuku, Rey. Dia pembawa sial. Dia gak akan pernah jadi ibuku. Dia merenggut semua orang yang aku sayang. Dia membunuh mama dan papa. Dan sekarang dia merebut kebahagiaanku. Aku gak akan bisa ikut tanding basket…” Aku menunduk sekali lagi. Kutelungkupkan wajahku dengan kedua tanganku.  Aku menangis sesenggukan. Dipeluknya aku perlahan. Entah berapa lama sampai akhirnya diajaknya aku pulang kerumahnya karena aku tetap tidak ingin pulang kerumah.

@<0--------- % ----------0>@

                Sejak kejadian malam itu, aku tidak pernah pulang kerumah. Aku tidak pernah berusaha menemuinya. Dia juga tidak pernah berusaha menemuiku. Sampai pada suatu malam sepulang latihan basket, aku dan Rey pergi ke sebuah warung makan yang terletak di pinggir jalan. Tiba-tiba kulihat Ibu tiriku baru keluar dari sebuah toko sepatu bersama Rina sambil menenteng sebuah plastic hitam dari toko tersebut. Mereka terlihat sangat gembira. Aku sangat yakin bahwa mereka baru membeli sebuah sepatu. Aku rasa itu untuk Rina. Kurasakan marah yang teramat sangat menguasai fikiranku saat itu. Aku tetap memandang mereka sampai di pinggir toko mengambil sebuah nampan kosong yang biasa digunakan untuk menjual kue.
“ Itu Rina dan ibu kan, Ra??” Suara Rey mengejutkanku disamping. “Samperin dulu yuk…keliatannya capek baru selsai jualan.”
“ Ngapain?? Mereka baru selsai beli sepatu ko buat Rina.” Ucapku ketus.
“Jangan su’uzzon dulu….siapa tau ibumu baru selsai beli sepatu buat kamu.”
“Mana mungkin? Dia itu gak sayang sama sekali sama aku. Aku  kan Cuma anak tirinya.” Rey hanya menggeleng-geleng kepala mendengar ucapanku. Kami tetap melanjutkan makan tanpa ku fikirkan lagi ibu dan adik tiriku.

@<0---------- % ----------0>@

                Aku duduk didepan kelas, menunggu Rey yang belum juga keluar dari kelas. Padahal bel istirahat sudah bordering sejak tadi. Namun aku tetap menunggunya. Hari ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Yaitu pertandingan basket putri antar sekolah dan merupakan pertandingan basket terakhir bagi anak-anak kelas tiga karena sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional. Pertandingannya akan di mulai jam 3. Jadi, setelah pulang sekolah nanti, aku harus siap-siap. Rey akan mengantarku ke sekolah karena aku harus berangkat bersamaan dengan teman satu tim ku. Tapi Rey tetap akan menonton pertandingan.
“ Lama ya?” Tanya sebuah suara membuyarkan lamunanku.
“ Rey…kamu udah disini. Ya lumayan sich.Emang kamu tadi kemana? Kok lama banget?”
“ Ya nih. Tadi aku ada urusan sama Deni.”
“ooohhh…..”
“Yuk pergi…!!” Ajak Rey.
“Kemana?”
“Pulang lah….emang kita mau ngapain disini?”
“Lho….sekarang kan masih ada kelas!”
“Hari ini ada rapat guru. Jadi semua kelas di bubarkan!”
“ooo…ok…yuk..!” Ajakku sambil merangkul tangan Rey.
                Sepanjang perjalanan menuju parkiran, kami terus mengobrol. Lokasi parkiran berada didekat gerbang masuk sekolah. Saat kami berjalan menuju parkiran, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah sepasang sosok yang sangat aku kenal. Tidak lain adalah ibu dan adik tiriku. Mereka berdiri didepan gerbang masuk sekolah. Sesekali ibu tiriku terlihat pembicaraan dengan satpam sekolah. Seperti ada perdebatan kecil. Namun sekali lagi aku cuek. Tak peduli.
“Tiara…ayo naik….ngapain bengong disana?” Panggil Rey.
                Aku berjalan dan menaiki motor Rey. Kututup wajahku dengan tasku saat lewat didepan gerbang masuk agar ibu tiriku tidak mengenaliku. Aku gak ingin ketemu dengannya.
“Sepertinya aku liat ibumu deh di depan gerbang masuk tadi?” Ujar Rey.
“Kamu salah liat kali. Aku gak liat kok.” Tampikku.
“Hmm…mungkin.”
@<0---------- % ----------0>@
Priiiitttt….!!!!
                Suara peluit berbunyi menandakan timeout. Babak pertama sudah selsai. Aku mendengus kelelahan. Skor sudah 20-23 untuk sekolahku. Pertahanan lawan benar-benar kuat.  Tiba-tiba, Rara, teman satu tim yang berada di bangku cadangan memanggilku. Dia berbisik bahwa ibu tiriku berada diluar GOR. Dan dia memaksa agar masuk kedalam gedung. Namun satpam melarangnya masuk. Dia dianggap pengemis oleh satpam. Aku heran mengapa ibu tiriku sampai nekat datang kesini. Aku langsung berlari keluar gedung. Karena sebentar lagi pertandingan babak kedua akan segera dimulai.
“Kamu ngapain sih kesini?” Bentakku saat berada didepannya.
“Ibu hanya ingin….”
“Udah deh..aku mau tanding. Kamu pulang dulu deh. Ganggu aja.” Potongku.
“Tapi…”
“Pergi…!!!” Pekikku tidak member kesempatan pada ibuku.
                Ibuku langsung pergi. Digandengnya Rina yang Nampak kelelahan dan menggenggam sebuah plastic hitam. Aku berjalan masuk kembali kedalam gedung. Namun. Braaaaakkkkkk….!!! Suara dentuman keras mengalihkan perhatianku. Sangat keras. Terdengar dari arah belakangku, tepat ditengah jalan, kulihat orang-orang berkerumun. Kurasakan jantungku berdegup sangat kencang. Ntah mengapa, kurasakan gelisah yang teramat dalam dan suli ku jelaskan mengapa. Aku terdiam sejenak. Sampai kurasakan dorongan yang begitu kuat dari dalam diriku. Seolah kesedihan telah menyeruak di dalam hatiku. Entah mengapa. Dan perlahan kuputuskan untuk mendekati kerumunan itu. Kuterobos kerumunan itu, dan kulihat seseorang yang sangat aku kenal tergeletak tak berdaya berlumuran darah di aspal. Gadis kecil disampingnya menangis tersedu-sedu memanggil ‘ibu’.
                Dadaku semakin sesak. Pelan tapi pasti, aku menangis. Ku pangku kepala ibu tiriku. Ku rangkul dan ku ciumi Ia. Hal yang tak pernah kulakukan. Kurasakan kehilangan yang teramat sangat. Entah mengapa, inginku putar waktu kembali. Aku ingin kembali pada memori beberapa minggu yang lalu. Aku tiba-tiba sangat merindukan suaranya. Ingin merangkulnya. Dan ku katakana maaf yang sedalam-dalamnya.
@<0---------- % ----------0>@
                Awan hitam menyelimuti. Angin berhembus sayup, seolah mengerti suara hati. Ku lihat tak ada siapa-siapa lagi di sekeliling. Hanya aku, Rina dan Rey dan kedua orang tua Rey. Ku tatap sedih sebuah makam yang ada didepanku. Masih sangat basah.
“Kakak,….!!” Panggil Rina mendongakku dan menggenggam tanganku. Ku tatap Rina. “ Mengapa Ibu tidur disana? Ibu kesepian? Huuuuu…..” Tangis Rina. Aku terduduk mendengar ucapannya. Tak bisa ku bending lagi air mataku. Aku sangat merindukannya terlebih Ibu tiriku. Kuhapus air matanya dan ku elus pipinya.
“ Ibu tidak akan kesepian, sayang. Ada malaikat. “ Ku kecup keningnya. “Mulai sekarang, Rina tinggal sama kak Rey ya? Tapi jangan nakal. Kakak mau pergi. Kakak pasti kembali jenguk Rina.” Ucapku pada Rina. Rina mengangguk. Aku berdiri dan menatap sendu pada Rey dan keluarganya. Mereka sudah tau bahwa aku ingin menyerahkan Rina kepada keluarga Rey seperti yang pernah kami bicarakan semalam. Karena aku harus cari pekerjaan untuk biaya sekolahku.
“ Titip Rina,…Jaga dia baik-baik.” Ucapku berlinang air mata. Mereka mengangguk. Ku peluk Rina sebelum aku pergi. Ku tumpahkan air mataku. Kemudian aku beranjak.
“ Kakak….!!” Panggil Rina. Ku tengok kebelakang. Rina berlari kearahku kemudian menyerahkan kantong plastic hitam yang tidak pernah dia lepas sejak kemarin. “Ini untuk kakak, dari ibu “ Ujarnya. Ku buka kantong plastic tersebut. Dan ku temukan sebuah sepatu basket berwarna putih.
“ Sebelum wafat, ibumu menjual kalung emas nya kepada ibu.” Ucap ibu Rey dan menunjukkan kalung yang dibelinya. Aku sangat mengenali kalung itu. Kalung pemberian papa kepada ibu sebagai maskawin Air mataku mengalir. Kurasakan sesal yang sangat mendalam karena telah berkata kasar pada Ibu. Ternyata, ibu sangat peduli dan menyayangiku selama ini. Aku salah persepsi bahwa ibu tiri itu selalu jahat. Aku menangis semakin tersedu-sedu. Ku dekap RIna sekali lagi. Entah berapa lama.
@<0---------- % ----------0>@
“ Kau masih belum tidur, sayang?” Tanya Rey, suamiku, yang membuyarkan lamunanku. Ku hapus air mataku perlahan. “ Mengapa nangis?” Tanyanya lagi. Duduk disampingku.
“ Aku ingat ibu. Aku kangen banget sama ibu.” Aku menarik nafas berat. “ Aku belum sempat minta maaf sama ibu. Aku sangat menyesal “
“Sudahlah, sayang. Kita berdo’a saja. Semoga beliau diterima di sisi Allah.”
Aku mengangguk pelan. Sementara Hujan masih belum reda. Menyanyikan lagu rinduku pada ibuku tersayang.




Selasa, 01 April 2014

Amitie' (on friendship)

Edit Posted by with No comments

Awan hitam menyelimuti sore itu. Angin berhembus cukup kencang mendinginkan tubuhku. Mengibarkan kerudung dan gaun hitamku, sekaligus seolah-olah menampar-nampar hatiku yang terkoyak. Aku berdiri terpaku menatap sekeliling. Tiada siapa pun, hanya aku sendiri ditemani bisikan rindu sang angin.
Aku berdiri terpaku menatap perih sebuah makam di sampingku. Mataku samar-samar menatap batu nisan yang berdiri tegak diatasnya. Kutemukan sebuah nama terpampang tegas dibatu nisan nya yang perlahan mengiris luka  yang selalu bersemayam dalam hatiku.
Seketika, air mataku pun merembes keluar dari sudut mataku ketika rintik-rintik hujan mulai mengguyur pemukaan bumi, membasahi kekosongan dan kesedihanku. Seolah-olah berusaha berkompromi dengan hati untuk  menghapus rindu  yang senantiasa menggelayut dalam kesibukan hari-hariku. Kutengadahkan kepalaku dan perlahan ku tutup mataku. Mencoba menikmati senandung lagu rindu yang didendangkan sang hujan. Lagu rindu yang memaksaku mengingat sebuah kenangan yang begitu pahit. Dan memory itupun senantiasa terputa kembali dalam ingatanku…………….
#        @        #

Gadis kecil itu berlari kencang sambil menggiring bola ditengah ditengah derasnya air hujan. Menikmati irama rintik hujan. Sementara ,seorangan anak laki-laki mengejarnya dari belakang berusaha merebut boala dari gadis kecil itu.namun,gadis kecil itu terus berlari dan menggiring bola dengan lincah.
Gadis kecil itu adalah aku, Casey. gadis kecil berrumur 10 tahun. dan anak laki-laki itu adalah sahabatku, Riko, yang berumur 12 tahun.
Ricko adalah sahabatku yang paling aku sayang. Dia adalah seorang pianis. Disekolah, kami sering dipasangkan untuk acara hiburan dalam berbagai acara disekolah karena aku adalah seorang penyanyi. Dia adalah kakak kelasku di sebuah sekolah dasar terkenal di sebuah kota keci di Prancis, dan kami sangat dekat. Dan kedekatanitulah yang membuat kami selalu berusaha saling menjaga. Dia selalu menjagaku dari anak-anaknakal yang suka menggangguku, dari gangguan kakak kelas yang mencoba memeras uang sakuku, dan dari kekerasan saudara tiriku. Bahkan dia hampir terjatuh ke jurang saat membantuku menaiki tebing saat Camping tahunan. Itulah yang membuatku sangat menyayanginya. Meskipun dia seorang Nasrani, namun itu tak pernah menjadi penghalang bagi kami untuk menjalin sebuah persahabatan. Dia tetap amitie’ sekaligus guardian angel bagiku.
“Ayo, Ricko…kejar aku!Kau sangat payah. Kejar bolanya kalau kau bisa!”Ejekku
“Baiklah. Kau fikir aku tak bisa merebut bola darimu?” Teriaknya dan terus mengejarku.   
Begitulah gambar keceriaan hari itu. Diatas rumput hijau lapangan bola dibelakang rumah kami, kami terus cekikikan dan bermain dalam derasnya air hujan tanpa beban. Seolah tak akan pernah ada takdir duka yang menanti. Berjingkrak-jingkrak diatas rerumputan lapangan nan hijau. Mengikuti irama nyanyian hujan. Hingga kamipun memutuskan untuk beristirahat. Kami berbaring-baring diatas rerumputan sambil memejamkan mata. Membiarkan rintik-rintik hujan mengaliri tubuh kami.
“Casey….” Panggil Ricko perlahan.
“Mmm…”Sahutku tenang.
“Aku ingin berterimakasih padamu. Dan juga...... minta maaf.”Ujarnya. kukernyitkan dahiku tak mengerti.
“Untuk apa?”Tanyaku tak mengerti  sambil tetap menutup mata. Tak ada jawaban darinya. Kubuka mataku perlahan kemudian bangkit dan duduk disampingnya seraya menatapnya penuh rasa heran.
“Untuk semuanya.”Ujarnya tertahan membutku semakin bingung.”kamu mau kan memaafkanku?”
“Aku….Aku sungguh tak menerti maksudmu.”Gelengku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
Dia bangun dan duduk disampingku. Dia mengusap pelan rambutku. Kemudian dia tersenyum lembut. Entah apa arti senyumannya itu kali ini. Aku sungguh tak mengerti. Digenggamnya erat tanganku dan mulai berkata lagi.”Casey…..sebenarnya ……”
“Ricko…”Panggil sebuah suara jauh dibelakang kami memotong kalimat Ricko. Kami menoleh kearah sumber suara. Nampak seorang wanita berpayung tengah berdiri disamping mobilnya yang sedang diparkir di pinggir jalan didekat lapangan tempat kami bermain. Wanita itu adalah madame Mollie, ibu Ricko. Ricko tersenyum senang.
“Tunggu sebentar. Aku akan segera kembali.”Ucapnya seraya berlari kearah ibunya. Dari kejauhan, mereka terlihat bercakap-cakap sebentar. Dan beberapa menit kemudia, Ricko berlari kearahku.
“Casey…aku harus pergi sekarang."
"Tapi kau belum selesai cerita padaku." Sungutku.
"Aku janji akan menceritakan semuanya padamu, OK?” Aku mengangguk mengalah. Dia kemudian mencium keningku dan segera berlari kearah ibunya. Mereka segera masuk kedalam mobil. Ricko membuka kaca jendela mobil dan melambaikan tangan padaku.”Au revoir, Casey!” Kulambaikan tanganku sambil terus menatap mobil itu yang terus menjauh dan akhirnya menghilang dibalik hujan.
#$@$#
Malam merangkak. Sang dewi senja telah kembali ke peraduan. Aku duduk termenung diatas atap kamarku. Menatap sendu aliran sungai dibelakang halaman rumahku. Gemericiknya bagaikan irama musik bagi para jangkrik yang bersembunyi dibalik bebatuan.
Kutatap angkasa. Tak ada bulan maupun bintang yang menghiasi. Hanya desau angin yang senantiasa mengibar-ngibarkan rambut ikal sepunggungku. Ku alihkan pandanganku kearah jembatan tali penghubung kamarku dan kamar Ricko. Nampak Ricko sedang berjalan di atasnya. Dia tersenyum dan melambai kearahku. Setelah sampai di kamarku, dia memanjat tembok disamping kamarku dan berjalan perlahan kemudian duduk disampingku. Kami terdiam beberapa saat. Sampai akhirnya kuputuskan untuk memulai pembicaraa.
“Kau ingin mengatakan sesuatu?”Tawarku. Ricko hanya tersenyum dan mendesah pelan. Dia memandang lurus kedepan menerawag jauh.Entah kemana. Aku tak tahu.
“Mengapa kau diam saja?Apa ada yang kau sembunyikan?”Dia tetap diam.”atau ada yang salah denganku?”
“Tidak!”Jawabnya tegas.
“Lalu?”
“Apa kau yakin ingin mendengarnya?”Tanyanya memandangku seolah-olah ingin memastikn keyakinanku. Kupandangi ia dan mengernyitkan kening tanda tak mengerti. Dia tertunduk beberapa saat kemudian mengangkat wajahnya kembali. Dia mendesah panjang seolah-olah ingin melepaskan beban yang beratnya berton-ton yang mengunci mulutnya. Namun kemudian dia mulai berkata.”Tadi sore, aku pergi kerumah sakit untuk mengambil hasil sample darahku. Dan hasilnya….aku dinyatakan leukemia stadium empat.”Ucapnya lirih. 
"Leukemia?" Tanyaku seolah-olah berbicara kepada diriku sendiri. Aku seperti pernah mendengar kosa kata itu. Kemudian aku teringat sesuatu yang pernah diceritakan oleh ayahku beberapa tahun yang lalu. Leukemia adalah penyakit yang pernah diderita oleh ibuku yang kemudian membuatnya meninggal. Aku tertegun beberapa saat. "Maksudmu....Kangker????" Tanyaku tak yakin. Dia hanya mengangguk pelan.
“Kau bercanda? Kau pasti ingin menipuku. tapi…..sekarang kan bukan waktunya april mop?” Ujarku sambil tersenyum terkekeh dan tak lepas dari wajahnya. Berharap wajahnya akan menunjukkan garis canda. Namun wajahnya menunjukkan keseriusan dan sebuah kesedihan.
“Umurku tak akan lama lagi”Desahnya seolah berbisik pada dirinya sendiri.
“Cukup, Ricko!”Bentakku.”Hentikan candaan ini. Kau tak akan kemana-mana.Dan kau bukan Tuhan. Dokte juga bukan Tuhan.Siapapun tak berhak memvonismu sekejam itu.”Teriakku  penuh amarah. Ricko hanya diam.
“Tapi itu kenyataannya”"desahnya pelan
“Tidak…..!”Kututup mulutku dan menggeleng kuat.Hanya itu yang mampu ku katakan.Aku tak sanggup untuk berkata-kata lagi.Bibirku terlalu kelu untuk berkata-kata. Aku mulai merasakan sebuah air hangat mengalir lembut . Butiran-butiran bening itupun akhirnya jatuh dipipiku. Mengairi jiwaku yang pilu. Aku menangis.
Ku telungkupkan wajahku dengan kedua tanganku. Menghayati setiap bening yang jatuh dipipiku. Hatiku sakit, perih, dan hancur. Kecewa dengan apa yang terjadi. Sahabat yag selama ini selalu mencoba menjadi pelindungku akan segera pergi untuk selamanya. Aku tak sanggup!Aku belum siap kehilangannya!
Tetes air hujan mulai membasahi tubuh kami. Membasahi kesedihanku. Meremukkan dinding harapanku. Ricko tetap terdiam mendongak keatas langit seraya memejamkan mata. Mencoba menikmati setiap tetes butiran bening yang terjatuh.
“Kau pernah berkata, jika kita berdo’a saat hujan turun, makaTuhan akan segera mengabulkannya. Lalu mengapa kau tak melakukannya kali ini? Kau tak ingin berdo'a untukku? ”Ujarnya. Ku tatap ia dengan tatapan nanar.
“Apakah Tuhan tak akan mengambilmu dariku jika aku berdo’a kali ini?” tanyaku perih. Kutatap ia semakin dalam. Dia mencoba tersenyum meski kini air matanya mulai mengalir. Disekanya airmatanya meski air matanya terus mengalir. Dipalingkannya wajahnya mencoba menyembunyikan kesedihanya dariku.
“Jangan pernah kau coba unuk menyembunyikan kesedihanmu, Ricko. Karena aku bisa melihat lebih dari sekedar air mata.”Ucapku lirih. Dipeluknya aku dengan erat dan menangis sesenggukan.
“Jangan menangis lagi, Casey. Karena aku tidak akan sanggup melihat air matamu.”Desahnya. Dipeluknya aku semakin erat.Aku menagis tersedu-sedu. "Kau harus tahu satu hal,Casey.” kemudian melepaskan pelukannya. "Kematian bukanlah akhir dari segalanya. tapi itulah awal dari kehidupan kita yang baru.”Sambungnya dan menghapus air mataku.Kemudian dirogohnya kantongnya dan mengeluarkan sebuah kalung berliontinkan bintang dan memakaikannya dileherku.
“Jagalah kalung ini danbukalah liontinnya jika kamu merindukanku.Dan ingatlah satu hal lagi, Casey.Aku akan selalu dihatimu jika kau tak melupakanku.”Diciumnya keningku dan memelukku lagi.Entah berapa lama dan itu adalah pelukan terakhirnya.
Satu minggu setelah malam itu, Rickopun meninggal setelah sebelumnya dilarikan kerumah sakit dan dirawat selama dua hari karna kondisinya semakin kritis.Akhirnya diapun meninggal tepat dihari ulang tahunku yang ke-11.
Aku menangis tak henti-hentinya saat itu.Akusungguh tak siap harus kehilangannya.Semuanya terasa gelapdan menyakitkan.Beberapa kali aku tak sadarkan diri. Tapi aku tetap dapat mengikuti upacara pemakamannya meski dengan tangis histerisku.
“Rickooo…!Jangan pergi….!Jangan tinggalkan aku!”Ratapku. Daddy memelukku dengan erat.Sementara aku meronta-ronta agar lepas dari pelukan Daddy. Tapi tubuh kecilku tak mampu tak mampu melawan pelukan Daddy.Aku terus meratap.Orang tua Ricko,orang tuaku, bahkan orang-orang yang mengikuti upacara pemakaman itu ikut menangis. Mereka menatap sedih kepadaku. Hingga upacarapun selesai dan orang-orang mulai beranjak pergi meninggalkan pemakaman. Daddy melepaskan pelukannya. Aku berlari kearah makam Ricko dan kakiku terasa lemas saatku berada disamping makam Ricko. Aku terduduk lemas. Hanya menangis yang bisa kulakukan untuk mengiringi kepergian Ricko.
“Sudahlah,Casey.Jangan menangis lagi.Aku yakin Ricko akan sedih melihatmu seperti ini.”Ucap madame Mollie mengusap-usap punggungku. Aku masih menangis menelungkupkan wajahku. Namun setelah beberapa saat, Daddy mengajakku pulang. Kuletakkan mawar kuning diatas makam Ricko dan segera beranjak meninggalkan pemakaman.
“Au revoir,Ricko.Au revoir…!”Desahku dalam hati.
#               @                 #
Kubuka mataku perlahan.Hujan masih belum reda.Kutatap makam Ricko dankuhapus air mataku.Kutatap foto dalam liontin pemberian Ricko.Foto saat kami bermain lumpur dihalaman belakang rumah Ricko.Aku tersenyum meski air mataku terus mengalir dipipiku.Kuletakkan mawar kuning diatas makamnya dan kucium batu nisannya.
“Mercy,Ricko.Kau telah menjadi guardian angel-ku.Walaupun sudah 7 tahun au pergi meninggalkanku.Namun aku tak akan pernah melupakanmu.Kau akan tetap menjadi amitie’ sekaligusguardian angel bagiku.”Desahku
Kulangkahkan kakiku meninggalkan pemakaman yang semakin sunyi.Hembusan angin bagakan nyanyian sendu sang malaikat. Mengiringi langkahku meninggalkan pemakaman yang semakin terasa sunyi.